Followers

Monday, 21 September 2015

hukum perdata tentang kekuasaan mengadili



RESUME BAB V KEKUASAAN MENGADILI
HUKUM ACARA PERDATA
M. YAHYA HARAHAP, SH.



Oleh : HARTAWAN (152102042)



AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI”AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2013
KEKUASAAN MENGADILI
A.    Kekuasaan mengadili merupakan syarat formil
Permaslahan kekuasaan atau yuridiksi mengadili timbul disebabkan berbagai  factor seperti factor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Factor ini dengan sendirinya menimbulakan masalah kewenangan mengadili  secara intansional. Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Ada juga factor perbedaan atau pembagian yurisdiksi berdasarkan lingkuanagan peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolute bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan (attributive competentie, jurisdiction). Selain perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan factor kewenangan khusus (specific jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti arbitrase atau mahkamah pelayaran. Bahkan masalah yurisdiksi ini dapat juga timbul dalam satu lingkungan peradilan, disebabkan factor wilayah (locality) yang membatasi kewenangan masing-masing pengadilan dalam lingkungan wilayah hokum atau daerah hokum tertentu, yang disebut kewenangan relative atau distribusi kekuasaan (distributive juridiction).
Permasalahan yurisdiksi mengadili merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Kekeliruan  mengajukan gugatan kepada lingkunagn peradialan atau pengadilan yang tidak berwenang, mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan  dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk yurisdiksi absolute atau relative pengadilan yang bersangkutan.
B.     Kekuasaan absolut mengadili
Ditinjau dari segi kekuasaan absolute atau yuridiksi absolute kedudukan PN dapat dijelaskan  sebagai berikut:
1.      Berdasrkan system pembagian lingkungan peradilan, PN berhadapan dengan kewenangan absolute lingkungan peradilan lain
Kekuasaan kehakiman (judicial power) yang berada di bawah mahkamah agung, dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari PA, PN, P Militer, dan PTUN yang merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif. Secara konstitusional bertindak menyelengarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan (to enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengailan negara (state court).
Pembagian dan pemisahan yurisdiksi dianggap masih releven dasar-dasr yang dikemukakan dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970.
·         Didasarkan pada lingkungan kewenangan
·         Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu atau disversity jurisdiction
·         Kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinya kewenangan absolute pada masing-masing lingkunagan sesuai dengan subject matter of jurisdiction
·         Oleh karena itu, masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.
Ditinjau dari segi pembagian lingkungan kekuasaan kehakiman, undand-undang telah menentukan batas yuridiksi masing-masing. Sengketa atau perkara yang dapat diajukan kepada PN sesuai keberadaan dan kedudukannya sebagai lingkunagan peradialan umum, hanya terbatas pada perkara pidana dan perdata. Dalam bidang perdata, teerbatas perdata umum dan niaga, sedang perdata-perdata lain mengenai perkawinan dan kewarisan bagai yang beragama islam jatuh menjadi yurisdiksi absolute lingkungan PA. demikian juga perkara perdata TUN, tidak termasuk kewenangannya, tetapi menjadi yurisdiksi PTUN.
2.      Kewenangan absolute extra judicial berdasarkan yurisdiksi khusus (specific jurisdiction) oleh undang-undang
Selain peradilan Negara yang berada di lingkungan kekuasaan kehakiman, terdapat juga system penyelesaian sengketa berdarsarkan yurisdiksi khusus yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. System dan badan yang bertindak melakukan penyelesaian itu, disebut peradilan semu atau extra judicial. Kedudukan dan organisasinya berada di luar kekuasaan kehakiman. Meskipun terdapat koneksitas dengan PN, tidak menimbulkan hilangnya pemisahan kewenangan absolute yang dimaksud. Salah satu koneksitas yang paling nyata dan mendasar ialah berkenaan dengan pelaksanaan atau eksekusi putusan. Badan badan tersebut tidak memiliki kewenangan mengeksekusi putusan yang dijatuhkannya, tetapi diminta bantuan (judicial assistance) kepada PN.
Di dalam perundang-undangan dijumpai beberapa extra judicial yang memiliki yurisdiksi absolute menyelesaikan jenis sengketa tertentu yaitu:
a.       Arbitrase
Kedudukan arbitrase dalam system hokum indonesia, telah dikenal sejak masa lalu. Pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG mengakui eksistensi arbitrase. Menurut ketentuan ini jika orang Indonesia atau timur asing menghendaki perselisihan mereka diselesaikan atau diputus oleh arbitrase (juru pisah).
Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvesi arbitrase internasional seperti:
1)      CSID (Convention on the settlement of investment disputes between states and Nation of other states)
Konvensi ini disebut konvensi Bank dunia yang mengatur penyelesaian perselisihan antar Negara dan warga Negara asing mengenai penanaman modal.
2)      New York convention, 1958 (convention on the recognition an enforcement of foreign arbitral award)
Konvensi ini mengatur pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase asing. Dengan diratifikasi konvensi ini, Indonesia wajib mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri
b.      Panitia penyelesaian perselisihan perburuhan (P4)
Keberadaan badan ini dalam system hokum Indonesia berdasrkan UU No. 22 tahun 1957 yang mengatur yurisdiksi absolute P4. Secara spesifik pasal 1 huruf c menjelaskan yurisdiksi P4 terbatas mengenai:
1)      Perselisihan perburuhan berupa pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh,
2)      Pertentangan itu berkenaan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, dan/ atau keadaan perburuhan.
Sebenarnya P4 sama dengan arbitrase. Penyelesaian sengketa yang terjadi antara buruh dan majikan dilakukan di luar pengadilan biasa (ordinary court). Hanya kedudukan P4 bersifat memaksa (compulsory). Itu sebabnya menurut hokum, P4 tergolong compulsory arbitration. Apabila terjadi sengketa perburuhan, penyelesaiannya mesti melalui P4 sebagai badan tripartite dengan komposisi terdiri dari: wakil buruh, wakil pengusaha, dan wakil pemerintah
Keberadaan dan yurisdiksi P4 ditegaskan dalam Putusan MA No. 1103K/Sip/1974, bahwa P4D/P4P merupakan pengadilan khusus yang berwenang memutuskan sengketa perselisihan perburuhan, sedangkan putusan P4D hanya dapat dibatalkan menteri perburuhan (menteri tenaga kerja), bukan oleh Pengadilan. Pihak yang kalah dalam forum P4 tidak dapat meminta kepada PN agar putusan itu dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat dilaksanakan. PN hanya dapat menyatakan putusan P4 dapat dijalankan. Batas kewenangan P4 hanya meliputi:
·         Pemberian pernyataan bahwa putusan P4D  dapat dijalankan, apabila putusan P4 itu telah berkekuatan mengikat
·         Suatu putusan P4D dianggap mengikat menurut hokum apabila dalam tempo 14 hari setelah putusan dijatuhkan, tidak diminta pemeriksaan lelang kepada P4 (panitia pusat)
Sengketa mengenai PHK (pemutusan hubungan kerja) yang dilakukan majikan yang tidak sesuai dengan ketentuan UU dianggap perbuatan melawan hokum (PMH) jatuh menjadi yurisdiksi PN.
Dengan diterbikannya UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kewenangan menyelesaikan perselidihan yang timbul antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh, jatuh menjdi yurisdiksi absolute pengadilan hubungan industrial (PHI) yang bertindak sebagai pengadilan khusus, kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial, organisasinya dibentuk di PN.
Hal itu dit egaskan dalam pasal 1 angka 17 yang berbunyi, “PMH adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan PN yang berwenang memeriksa, mengadili, dan member putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
c.       Pengadilan pajak
Peradilan lain yang memiliki yurisdiksi khusus adalah pengadilan pajak. Pengadilan pajak termasuk ke dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sebagaimana PN, PA, P Militer, dan PTUN. Bukan peradilan khusus seperti halnya arbitrase, P4 dan mahkamah pelayaran. Akan tetapi tidak dimasukkan sebagai peradilan dalam lingkup kekuasaan kehakiman maka secara teoritis dianggap sebagai peradilan khusus.
Untuk menempatkan pengadilan pajak benar-benar berada dalam system kekuasaan kehakiman yang berpuncak kepada MA, Bab III bagian kesepuluh UU No, 14 tahun 2004 mengatur keterkaitan pengadilan pajak dengan MA dalam bentuk pengajuan PK terhadap putusan pengadilan pajak.
Yurisdiksi khusus pengadilan pajak diatur dalam pasal 31 ayat (1). Menurut pasal ini, pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan sengketa pajak. Dengan demikian yurisdiksi absolute pengadilan pajak hanya sebatas mengenai sengketa pajak.
Keberadaan pengadilan pajak di bawah MA hanya terbatas pada pembinaan dan pengurusan teknis yustisial. Sedang pembinaan organisasi, administrasi, dan financial dilakukan depertemen keuangan. (Pasal 5 ayat (1,2) UU No 4 tahun 2004).
System dualistic yang diatur pasal 11 UU No 14 tahun 2004 telah dihapuskan oleh pasal 13 ayat (1) UU No 14 tahun 2004, dan menempatkan pembinaan dan pengawasan semua badan peradilan berada secara total di bawah MA, meliputi pembinaan dan pengawasan teknis yustisial maupun organisasi, administrasi dan financial.
d.      Mahkamah pelayaran
Badan ini diatur dalam ordonansi majelis pelayaran. Yurisdiksi khususnya diatur dalam pasal 1, meliputi kewenangan:
1)      Memeriksa dan memutus perkara yang timbul dari pasal 25 ayat (4, 7, 8, 11) ordonansi kapal 1935 (1939-66),
2)      Memeriksa dan memutus peristiwa yaitu nakhoda yang melakukan tindakan yang tidak senonoh terhadap kapal, muatan atau penumpang;
3)      Memeriksa dan/ atau memutus semua hal yang oleh suatu peraturan perundang-undangan dibebankan kepada mahkamah pelayaran.
Susunan mahkamah pelayaran terdiri dari: 1) 4 orang nakhoda atau bekas nakhoda pelayaran niaga atau perwira TNI AL sebagai anggota; 2) seorang ahli mesin kapal atau perwira teknik AL sebagai anggota; 3) seorang sarjana hokum sebagai anggota; 4) seorang sekretaris, bukan anggota; 5) ketua diangkat menteri dan anggota mahkamah pelayaran.
3.      Kewengangan absolute berdasarkan factor instansional
Factor lain yang menjadi dasar terbentuk  kewenangan absolute mengadili adalah factor instansional. Pasal 21 dan pasal 22 UU No 4 tahun 2004 memeperkenalkan system instansional penyelesaian perkara:
a.       Pengadilan tingkat pertama
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum terdiri dari:
1)      Pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama yang bekedudukan di kotamadya atau ibu kota.
2)      Pengadilan tinggi (PT) sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota provinsi.
b.      Pengadilan tingkat bandinag
semua putusan pengadilan tingkat pertama dapat diminta banding kepada pengadilan tinggi yang berkedudukan di ibu kota provinsi yang berugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding atas segala putusan yang dijatuhkan PN dalam tingkat pertama. Dengan demikian fungsi dan wewenang PT ialah melakukan koreksi terhadap putusan PN apabila terhadap putusan itu dimintakan banding oleh pihak yang berperkara.
c.       Pengadilan tingkat kasasi
Pengadilan kasasi atau tingkat kasasi dilakukan oleh MA terhadap putusan dalam pengadilan tingkat banding atau pengadilan tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan. Salah satu kekuasaan MA ialah bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan kasasi.
C.     Kewenangan relative PN
Setiap PN terbatas daerah hukumnya. Hal itu sesuai dengan kedudukan PN hanya berada pada wilayah tertentu, yaitu berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan derah hukumnya meliputi daerah kotamadya atau kabupaten yang bersangkutan.
Tempat kedudukan daerah hokum menentukan batas kompetensi relative mengadili bagi setiap PN. Meskipun perkara yang sisengketakan termasuk yuridiksi absolute lingkungan peradilan umum, sehingga secara absolute PN berwenang mengadilinya, namun kewenangan absolute itu dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relative. Jika perkara yang terjadi berada di luar daerah hukumnya, secara relative PN tersebut tidak berwenang mengadilinya. Apabila terjadi pelampauan batas daerah hokum, berarti PN yang bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan (exceeding its power). Pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan dalam perekara itu tidak sah.
Patokan yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan sesuai dengan ketentuan undang-undanag adalah:
1.      Actor sequitur forum rei (actor rei forum sequitur)
Patokan ini digariskan pasal 118 ayat (1) HIR yang menegaskan: 1) yang berwenang mengadili suatu perkara adalah PN tempat tinggal tergugat; 2) gugatan harus diajukan dan dimasukkan kapada PN yang berkedudukan di wilayah atau daerah tempat tinggal tergugat.
Mengajukan gugatan kepad PN di luara wilayah tempat tinggal tergugat tidak dapat dibenarkan. Dianggap sebagai pemerkosaan hokum terhadap kepentingan tergugat dalam membela diri. Rasio penegakan patokan ini bertujuan untuk melindungi tergugat.
a.       Yang dimaksut tempat tinggal tergugat
Menurut hokum, yang dianggap sebagai tempat tinggal seseorang meliputi; tempat kediaman, tempat alamat tertentu, atau tempat kediaman sebenarnya. Yang dimaksud tempat kediaman sebenarnya atau sebenarnya berdiam adalah tempat secara nyata tinggal. Ketentuan perlu untuk mengantisipasi ahli waris yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Dalam hal yang demikian gugatan cukup diajukan kepada PN tempat tinggal sebenarnya dari pewaris.
b.      Sumber menentukan tempat tinggal tergugat
Yang sah dan resmi dijadikan sumber menentukan tempat tinggal tergugat, terdiri dari beberapa jenis akta atau dokumen. Yang terpenting di antaranya: berdasrkan KTP, Kartu Rumah Tangga, Surat pajak, dan anggaran dasar perseroan.
c.       Perubahan tempat tinggal setelah gugatan diajukan
Perubahan tempat tinggal tergugat setelah gugatan diajukan tidak memengaruhi keabsahan gugatan ditinjau dari segi kompetensi relative dan demi menjamin kepastian hokum (legal certainty) serta melindungi kepentingan penggugat dari kewenangan dan iktikad buruk tergugat.
d.      Diajukan kepada salah satu tempat tinggal tergugat
Apabila tergugat memiliki dua atau lebih tempat tinggal yang jelas dan resmi, gugatan dapat diajukan penggugat kepada salah satu PN sesuai dengan daerah hokum tempat tinggal tersebut. Berdasarkan  bukti yang diajukan penggugat dan tergugat, ditemukan fakta yang membuktikan tergugat mempunyai dua tempat tinggal yang jelas, penggugat dapat memilih salah satu tempat tinggal tergugat yang paling menguntungkan baginya.
e.       Kompetensi relative tidak didasarkan atas kejadian peristiwa yang disengketakan
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa patokan kompetensi relative PN mengadili suatu perkara berdasarkan tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Patokannya bukan locus delcty seperti yang diterapkan dalam perkara pidana. Dalam perkara pidana, patokan kompetensi relative bukan tempat tinggal terdakwa, tetapi di PN yang meliputi daerah hokum tempat terjadinya peristiwa pidana.
f.       Penerapan asas actor sequitur forum rei apabila objek sengketa benda bergerak dan tuntutan ganti kerugian atas perbuatan melawan hokum
Apabila objek gugatan barang tidak bergerak, PN yang berwenang mengadili adalah PN yang di daerah hokumnya baranag tersebut terletak. Sehubungan dengan itu, penerapan yurisdiksi relative berdasarkan tempat tinggal tergugat, terbatas dalam perkara yang menyangkut objek barang bergerak, sebagaimana yang disebut Rv dalam pasal 99 ayat (1) yang berbunyi: “seorang tergugat dalam perkara pribadi murni mengenai benda-benda bergerak dituntut di hadadapan hakim di tempat tinggalanya”.
Penerapan asas tersebut juga berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian  yang timbul dari perbuatan melawan hokum meskipun timbul dari objek tidak bergerak, yurisdiksi relative penyelesaian sengketa, tetap berdasarkan actor sequitur forum rei, bukan berdasarkan tempat terletak barang (forum rei sitae).
2.      Actor sequitur forum rei dengan hak opsi
Ketentuan penerapan asas ini memberikan hak opsi kepada penggugat untuk memilih salah satu PN, diatur dalam pasal 118 ayat (2) HIR, kalimat pertama yang menegaskan: “jika tergugat lebih dari seorang sedangkan mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat”.
Beritik tolak dari ketentuan tersebut, penggugat diberi hak opsi pengajuan gugatan berdasarkan asas actor sequitur forum rei dengan acuan penerpan:
·         Tergugat yang ditarik sebagi pihak, terdiri dari beberapa orang
·         Masing-masing tergugat bertempat tinggal di daerah hokum PN yang berbeda
·         Dalam kasus seperti ini, undang-undang memberi hak opsi kepada penggugat untuk memilih salah satu PN yang dianggapnya paling menguntungkan.
3.      Actor sequitur forum rei tanpa hak opsi, tetapi berdasrkan tempat tinggal debitur principil
Undang-undang tidak memberikan hak opsi kepada penggugat, meskipun pihak tergugat terdiri dari beberapa orang. Ketentuannya diatur pada kalimat kedua pasal 118 ayat (2) HIR dan pasal 99 ayat (6) Rv yang menjelaskan:
1)      Dalam hal para tergugat satu sama lain mempunyai hubungan:
a.       Yang satu berkedudukan sebagai debitur pokok atau debitur principal
b.      Sedangkan yang selbihnya berkedudukan sebagai penjamin
2)      Maka dalam kasus demikian, kompetensi relative PN yang berwenang mengadili perkara adalah:
a.       PN yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok (principal)
b.      Kepada penggugat tidak diberi hak opsi untuk memilih PN berdasarkan daerah hokum tempat tinggal penjamin.
4.      PN di daerah hokum tempat tinggal penggugat
Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat pertama memberi hak kepada penggugat mengajukan gugatan kepada PN tempat tinggal penggugat dengan syarat; 1) tempat tinggal atau kediaman pihak tergugat tidak diketahui, 2) surat keterangan dari pejabat yang berwenang (kepala desa tempat tinggal terakhir tergugat) yang menyatakan tempat tinggal tergugat tidak diketahui.
Penerapan kompetensi relative berdasarkan tempat tinggal penggugat, dapat diikutu dengan hak opsi bila pihak penggugat terdiri dari beberapa orang dan bertempat tinggal dalam beberapa wilayah hokum PN yang berbeda, para penggugat dapat memilih salah satu PN yang mereka anggap paling efektif dan efisien.
5.      Forum rei sitae (tempat barang sengketa)
Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat terakhir berbunyi, “atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu”.
Pasal 142 ayat (5) RBG menjelaskan: “ dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepeada ketua pengadilan negeri di wilayah letak barang tetap tersebut, jika barang tetap itu terletak di dalam wilayah beberpa pengedilan negeri, gugatan diajukan kepada salah satu ketua pengadilan negeri tersebut atas pilihan penggugat”.
6.      Kompetensi relative berdasarkan pemilihan domisili
Menurut pasal 118 ayat (4) HIR, para pihak dalam perjanjian dpat menyepakati domisili yang berisi klausul, sepakat memilih PN tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Pencantuman klausul harus berbetuk akta tertulis. Dapat langsung dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian pokok, atau dituangkan dalam akta tersendiri yang terpisah dari perjanjian pokok.
a.       Domisili pilihan tidak tidak mutlak menyingkirkan asa actor sequitur  forum rei
Persetujuan para pihak mengenai pilihan domisili pada prinsipnya tunduk pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan pasal 1338 KUH perdata. Oleh karena itu kesepakatan tersebut mengikat para pihak untuk mentaati dan melaksanakan. Namun demikian, ketentuan pasal 118 ayat 4 sendiri membatasi tingkat derajat kekuatannya. Tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat sukarela, sebagaimana bunyi pasal 118 ayat 4 HIR “ maka penggugat jika ia suka dapat memasukkan surat gugatan itu kepada ketua PN dalam daerah hokum siapa terletak kedudukan yang dipilih itu”. Lebih jelas lagi pasal 99 ayat 16 Rv berbunyi; jika ada tempat tinggal pilihan, di hadapan hakim di tempat tinggal pilihan itu atau di hadapan hakim di tempat tinggal nyata tergugat, atas pilihan penggugat”.
b.      Kebebasan memilih pada pihak penggugat
Pemilihan domisili kompetensi relative sebgaimana yang diatur dalam pasal 24 KUH Perdata: bahwa dalam sengketa perdata di muka hakim, kedua belah pihak yang berperkara, bahkan salah satu pihak berhak dan bebas memilih tempat tinggal lain dari tempat tinggal mereka yang sebenarnya. Hak dan kebebasan memilih itu dituangkan dalam akta, boleh akta otentik (akta notaris) atau bisa juga berbentuk akta di bawah tangan. Sifat pemilihan domisili tersebut, dapat secara mutlak kekuatan berlakunya mulai dari gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan, atau dapat juga secara terbatas sesuai dengan yang dikehendaki dan disepakati para pihak. Dalam hal ada pemilihan domisili, kepda para pihak tetap terbuka pilihan untuk memilih PN yang disepakati atau memilih PN di tempat mana tergugat bertempat tinggal.
Kebebasab memilih kompetensi relative dalam hal ada kesepakatan pilihan domisili, menurut undang-undan sepenuhnya berada pada pihak penggugat, bukan pada pihak tergugat. Terserah penggugat untuk menentukan apakah gugatan diajukan kepda PN di daerah hokum tempat tinggal tergugat atau kepada PN yang disepakati.
c.       Terhadap pilihan penggugat tidak dapat diajukan eksepsi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kesepakatan atas domisili pilihan yang digariskan pasal 118 ayat 4 HIR, tidak dapat menyingkirkan secara mutlak patokan kompetensi relative yang diatur pasal 118 ayat 1 HIR. Kepada pihak yang bertindak dan mengambil inisiatif sebagai penggugat, undang-undang memberi kebebasan memilih di antara kompetensi relative berdasarkan domisili atau tempat tinggal tergugat. Bertitik tolak dari kebesan tersebut, tidak ada dasar hokum bagi tergugat, mengajukan eksepsi terhadap kompetensi relative yang dipilih penggugat. Pengadilan harus menolak eksepsi yang demikian atas dasar pengajuan gugatan tidak melanggar batas dan system kompetensi relative yang digariskan pasal 118 ayat 4 HIR.
7.      Negara atau pemerintah dapat digugat pada setiap PN
HIR maupun RBG tidak mengatur forum kompetensi relative suatu perkara, bila pemerintah Indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili Negara. Oleh karena itu tidak jelas PN mana yang berwenang mengadilinya, apakah PN Jakarta pusat atau dapat diajukan pada setiap PN. Namun pada masa lalu, hal itu telah diatur dalam pasal 99 ayat a8 Rv yang berbunyi: “dalam hal pemerintah Indonesia mewakili Negara bertindak sebagai penggugat atau tergugat maka Jakarta dianggap sebagai tempat tinggalnya”. Apakah pasal tersebut dapat diterapkan? Berdasarkan process doelmatigheid, dapat. Akan tetapi jika diterapkan secara mutlak dam imperative pada masa sekarang, sangat bertentangan dengan asas cepat biaya ringan. Oleh karena itu dapat didukung pendapat subekti,” bahwa ketentuan pasal 99 ayat 18 Rv itu dapat diberlakukan. Akan tetapi untuk memberi keleluasan kepada pencari keadilan mungkin lebih tepat apabila Negara dapat digugat di setiap PN di mana p[erwakilan depertemen yang bersangkutan berada”. Dalam kapasitas mereka sebagai legal mandatory dari pemerintah atau depertemen yang bersangkutan, tidak memerlukan surat kuasa khusus dari pemerintah pusat.
D.    Hak choice of jurisdiction atau choice of court berdasarkan prinsip appropriate forum
1.      Choice of court melibatkan antar Negara
Permasalahan choice of jurisdiction atau choice of court, berkaitan dengan doktrin in convenient forum. Disebut juga forum non conveniens. Makna in convenient forum, memberi kebebasan untuk memilih kantor pengadilan untuk memperoses perkaranya. Doktrin ini membuka pemilihan forum alternative di antar dua atau beberapa pengadilan yang terdapat di beberapa Negara brdasrkan factor favorable. Apabila dinilai penyelesaian sengketa kurang baik (less favorable) diadili oleh pengadilan Negara A dapat dipilih forum alternative di pengadilan Negara B.
2.      Appropriate forum bardasarkan  the most real and substantial connection dengan sengketa
Salah satu kasus yang dianggap landmark penerpan choice of jurisdiction berdasarkan prinsip secara nyata terdapat koneksitas yang lebih sibstansial dengan sengketa atau the most real and substantial connection with the disputes adalah Amin Rasheed shipping corp. vs Kuwait insurance Co. 1984. Kasus ini berkenaan dengan yurisdiksi asuransi berdasarkan RSC Ord. 11 r 1 (1). Pengadilan (house pf lords) memutuskan, meskipun tuntutan bersumber dari kontrak yang tunduk kepada hokum inggris (Governed by English law), hal itu tidak merupakan alas an yang menyulitkan bagi pengadilan Kuwait menerapkan hokum inggris dalam mengadili perkara. Oleh karena ditinjau dari beberapa factor keadaan yang terkait dalam kasus itu, pengadilan kwait dianggap lebih layak (most appropriate) untuk mengadili di banding pengadilan inggris. Governing law (hokum inggris) tidal merupakan factor koneksitas releven disbanding factor yang lain. Oleh karena itu, tanpa mengurangi kenyataan adanya factor kesepakatan, hokum yang brlaku adalah hokum inggris, secara prima facie terdapat beberapa connecting factors yang kuat mengenai sengketa dengan Kuwait disbanding dengan inggris. Dengan demikian, pengadilan Kuwait dianggap the most appropriate for the resolution of the disputes.
3.      The most appropriate forum, ditentukan beberapa factor
 menetukan pengadilan mana yang lebih layak (the most appropriate), bertitik tolak dari kenyataan koneksitas yang lebih substansial dengan sengketa. Substansial atau tidaknya koneksitas dengan pengadilan tertentu, bertitik tolak dari jenis, sifat, atau bentuk factor-faktor koneksitas yang dinilai sangat releven, antara lain: kemudahan dan biaya perkara (convenience dan expense), ketersediaan (availability) saksi dan dokumen, tempat tinggal para pihak (the place where parties reside), tempat kegiatan usaha (the place where carry on business), hokum yang mengatur (governing law). Apabila factor itu berdiri sendiri berhadapan dengan beberpa factor lain, governing law tidak bisa diunggulkan sebagai factor koneksitas yang kuat.
4.      Doktrin appropriate forum, dibenarkan peradilan Indonesia
Penerapan choice of jurisdiction atau choice of court berdasarkan doktrin in convient forum, diakui perdilan di Indonesia. Meskipun para pihak dalam perjanjian telah menyepakati pengadilan Negara lain yang berwenang memeriksa penyelesaian sengketa, yurisdiksi pengadilan Negara lain itu disingkirkan  berdasarkan prinsip appropriate forum, sehingga kewenangan yurisdiksi beralih kepada pengadilan Indonesia.
Penyingkiran kewenangan pengadilan asing  yang disepakati semakin beralasan apabila atas kesepakatan itu sendiri terdapat klausul in convenient forum yang berisi penegasan, tetap memberi hak kepada salah satu pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa di hadapan pengadilan Negara lain. Dalam perjanjian berkala internasional, sering dijumpai kesepakatan yang mengatur penyelesian yang timbul dari perjanjian dalam bentuk: disepakati pengadilan yang berwenang adalah pengadilan Negara tertentu seperti misalnya singapura, akan tetapi ketentuan itu dibarengi dengan klausul yang memberi hak kepada pihak kreditur atau salah satu pihak untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan Negara lain di luar pengadilan singapura .
E.     Sengketa kewenangan mengdili
1.      Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 sebagai rujukan
Mengenai permasalahan sengketa kewenangan mengadili diatur dalam pasal 33 ayat 1 UU No 14 tahun 1985 sebagaiman diubah dengan UU No 5 tahun 2004 terdiri dari psal itu saja.
2.      Bentuk sengketa kewenangan mengadili menurut pasal 33 ayat (1)
a.       Sengketa kewenangan absolute
Sengketa mengadili antara satu lingkungan peradilan dengan lingkungan peradilan lain, antara pengadilan tingkat banding dengan lingkungan peradilan yang berlainan.
b.      Sengketa kewenangan relative
Sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat pertama yang terdapat dalam satu lingkungan peradilan yang sama (antara PN dengan PN atau PA dengan PA), antara pengadilan tingkat banding yang terdapat dalam lingkungan peradilan yang sama juga. Sedangkan  sengketa mengadili antara pengadilan dengan peradilan khusus, antara peradilan Umum dengan arbitrase atau pengadilan pajak, tidak disinggung dalam pasal 33 tsb. Meskipun demikian, pasal tsb dapat dijadikan pedoman menyelesaikan sengketa yang terjadi antara lingkungan peradilan umum dengan badan peradilan khusus.
3.      Patokan menentukan sengketa kewenangan mengadili
Pedoman menentukan ciri atau patokan sengketa kewenangan mengadili dapat merujuk kepada pertimbangan yang dikemukakan putusan MA No. 04/SKM/perd/ 1984, antara lain:
Apabila pada waktu yang bersamaan beberapa pengadilan menerima gugatan yang perkara pokoknya, pihak-pihaknya, dan objeknya sama, serta pristiwa hukumnya sama, dan masing-masing PN atau pengadilan yang menerima gugatan itu berpendapat, berwenang mengadili perkara tersebut, maka dalam hal yang seperti itu timbul sengketa kewenangan mengadili. Jika yang menerima gugatan itu terdiri dari PN, PA, atau PERATUN, sengketa yang terjadi, kewenangan mengadili absolute. Sebaliknya kalau yang menerima gugatan terdiri dari beberapa PN dalam satu lingukangan peradilan, maka yang terjadi sengketa mengadili secara relative. Akan tetapi jika perkara-paerkara yang diajukan kepada beberapa pengadilan ternyata dasar gugatan berbeda, dalam kasus seperti itu tidak terkandung factor sengketa kewenangan mengadili meskipun pihak yang berperkara sama dan objek yang disengketakan sama.
4.      MA yang berwenang memutus
Pasal 33 ayat 1 menegaskan, yang berwenang memutus sengketa kewenangan mengadili yang terjadi di lingkungan  peradilan dalah MA. Dalam hal ini. MA berkedudukan dan berfungsi: sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian, putusan yang dijatuhkan MA bersifat final dan mengikat baik kepada para pihak yang berperkara maupun kepada badan peradilan yang bersangkutan. Selanjutnya dalam putusan dimaksud, MA harus memberi penegasan tentang ada atau tidak sengketa kewenangan mengadili. Bila ada. MA harus menetapkan pengadilan mana yang berwenang mengadili.
5.      Yang berhak mengajukan
Tidak disebutkan dalam pasal 33 ayat 1 siapa atau pihak mana yang berhak mengajukan sengketa mengadili kepada MA. Namun berdasarkan pengalaman praktik dapat dijelaskan;
a.       Pihak yang berperkara
Yang paling berkepentingan atas penyelesaian sengketa kewenangan mengadili adalah pihak yang berperkara. Merekalah yang paling berhak mengajukan penyelesaian, baik sendiri atau melalui kuasa. Prosedurnya adalah:
1)      Mengajukan permohonan
Membuat permohonan yang berisi dan menjelaskan fakta tentang adanya beberapa perkara yang sama pihak, objek, dasar gugatan, dan peristiwa hukumnya, telah diajukan kepada beberapa pengadilan. Masing-masing pengadilan sama-sama berpendapat, berwenang mengadili. Fakta tentang itu dapat didasarkan pada kenyataan bahwa masing-masing pengadilan yang bersangkutan telah melaksanakan proses pemeriksaan
2)      Permohanan diajukan kepada MA
Permohonan yang diajukan dapat langsung kepada MA, atau melalui salah satu pengadilan yang terlibat.
b.      Pengadilan yang terlibat
Salah satu pengadilan yang terlibat dalam sengketa mengadili, secara moral harus bersifat proaktif mengajukan permasalahan itu kepada MA. Misalnya, setelah ssatu pihak yang berperkara menjelaskan, apakah dalam bentuk seksepsi atau jawaban, bahwa perkara yang disengketakan sama persis dengan perkara yang diperiksa dalam pengadilan lain. Segera setelah itu, salah satu pengadilan yang terlibat, harus meminta penyelesaian kepada MA. Sebaliknya, sambil menunggu putusan dari MA, proses pemeriksaan dihentikan oleh masing-masing pengadilan yang terlibat agar dapat dihindari penjatuhan putusan yang saling bertentangan.
Tindakan menghentikan pemeriksaan berpedoman kepada SEMA No 1 tahun1996, anatara lain menegaskan apabila pihak yang berperkara atau ketua pengadilan karena jabatannya mengajukan sengketa mengadili kepada MA maka: pengadilan harus menunda pemeriksaan perkara tsb. Penundaan dituangkan dalam bentuk penetapan. Mengirimkan salinan penetapan penundaan kepada pengadilan yang mengadili perkara yang sama. Pengadialan yang meneriama salinan penetapan harus menunda pemeriksaan sampai ada putusan MA tentang itu.

No comments:

Post a Comment