RESUME
BAB V KEKUASAAN MENGADILI
HUKUM
ACARA PERDATA
M. YAHYA
HARAHAP, SH.
Oleh
: HARTAWAN (152102042)
AHWAL
AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS
SYARI”AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2013
KEKUASAAN MENGADILI
A.
Kekuasaan mengadili
merupakan syarat formil
Permaslahan kekuasaan atau yuridiksi mengadili timbul disebabkan
berbagai factor seperti factor instansi
peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi
sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan
peradilan tingkat pertama (inferior court). Factor ini dengan sendirinya
menimbulakan masalah kewenangan mengadili
secara intansional. Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih
rendah, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Ada
juga factor perbedaan atau pembagian yurisdiksi berdasarkan lingkuanagan
peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolute bagi
masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan (attributive
competentie, jurisdiction). Selain perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan
factor kewenangan khusus (specific jurisdiction) yang diberikan undang-undang
kepada badan extra judicial, seperti arbitrase atau mahkamah pelayaran. Bahkan
masalah yurisdiksi ini dapat juga timbul dalam satu lingkungan peradilan,
disebabkan factor wilayah (locality) yang membatasi kewenangan masing-masing
pengadilan dalam lingkungan wilayah hokum atau daerah hokum tertentu, yang
disebut kewenangan relative atau distribusi kekuasaan (distributive
juridiction).
Permasalahan yurisdiksi mengadili merupakan syarat formil keabsahan
gugatan. Kekeliruan mengajukan gugatan
kepada lingkunagn peradialan atau pengadilan yang tidak berwenang,
mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan
gugatan yang diajukan tidak termasuk yurisdiksi absolute atau relative
pengadilan yang bersangkutan.
B.
Kekuasaan absolut
mengadili
Ditinjau dari segi kekuasaan absolute atau yuridiksi absolute
kedudukan PN dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.
Berdasrkan
system pembagian lingkungan peradilan, PN berhadapan dengan kewenangan absolute
lingkungan peradilan lain
Kekuasaan kehakiman (judicial power)
yang berada di bawah mahkamah agung, dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa
lingkungan peradilan yang terdiri dari PA, PN, P Militer, dan PTUN yang
merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif. Secara
konstitusional bertindak menyelengarakan peradilan guna menegakkan hokum dan
keadilan (to enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai
pengailan negara (state court).
Pembagian dan pemisahan yurisdiksi
dianggap masih releven dasar-dasr yang dikemukakan dalam penjelasan pasal 10
ayat (1) UU No. 14 tahun 1970.
·
Didasarkan pada
lingkungan kewenangan
·
Masing-masing
lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu atau disversity jurisdiction
·
Kewenangan
tertentu tersebut, menciptakan terjadinya kewenangan absolute pada masing-masing
lingkunagan sesuai dengan subject matter of jurisdiction
·
Oleh karena
itu, masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang
dilimpahkan undang-undang kepadanya.
Ditinjau dari segi pembagian
lingkungan kekuasaan kehakiman, undand-undang telah menentukan batas yuridiksi
masing-masing. Sengketa atau perkara yang dapat diajukan kepada PN sesuai
keberadaan dan kedudukannya sebagai lingkunagan peradialan umum, hanya terbatas
pada perkara pidana dan perdata. Dalam bidang perdata, teerbatas perdata umum
dan niaga, sedang perdata-perdata lain mengenai perkawinan dan kewarisan bagai
yang beragama islam jatuh menjadi yurisdiksi absolute lingkungan PA. demikian
juga perkara perdata TUN, tidak termasuk kewenangannya, tetapi menjadi yurisdiksi
PTUN.
2.
Kewenangan
absolute extra judicial berdasarkan yurisdiksi khusus (specific jurisdiction)
oleh undang-undang
Selain peradilan Negara yang berada
di lingkungan kekuasaan kehakiman, terdapat juga system penyelesaian sengketa
berdarsarkan yurisdiksi khusus yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. System dan badan yang bertindak melakukan penyelesaian itu,
disebut peradilan semu atau extra judicial. Kedudukan dan organisasinya berada
di luar kekuasaan kehakiman. Meskipun terdapat koneksitas dengan PN, tidak
menimbulkan hilangnya pemisahan kewenangan absolute yang dimaksud. Salah satu
koneksitas yang paling nyata dan mendasar ialah berkenaan dengan pelaksanaan
atau eksekusi putusan. Badan badan tersebut tidak memiliki kewenangan mengeksekusi
putusan yang dijatuhkannya, tetapi diminta bantuan (judicial assistance) kepada
PN.
Di dalam perundang-undangan dijumpai
beberapa extra judicial yang memiliki yurisdiksi absolute menyelesaikan jenis
sengketa tertentu yaitu:
a.
Arbitrase
Kedudukan arbitrase dalam system hokum indonesia, telah dikenal
sejak masa lalu. Pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG mengakui eksistensi arbitrase.
Menurut ketentuan ini jika orang Indonesia atau timur asing menghendaki
perselisihan mereka diselesaikan atau diputus oleh arbitrase (juru pisah).
Indonesia
juga telah meratifikasi beberapa konvesi arbitrase internasional seperti:
1)
CSID
(Convention on the settlement of investment disputes between states and Nation
of other states)
Konvensi ini disebut konvensi Bank dunia yang mengatur penyelesaian
perselisihan antar Negara dan warga Negara asing mengenai penanaman modal.
2)
New York
convention, 1958 (convention on the recognition an enforcement of foreign
arbitral award)
Konvensi ini mengatur pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase
asing. Dengan diratifikasi konvensi ini, Indonesia wajib mengakui dan
mengeksekusi putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri
b.
Panitia
penyelesaian perselisihan perburuhan (P4)
Keberadaan badan ini dalam system hokum Indonesia berdasrkan UU No.
22 tahun 1957 yang mengatur yurisdiksi absolute P4. Secara spesifik pasal 1
huruf c menjelaskan yurisdiksi P4 terbatas mengenai:
1)
Perselisihan
perburuhan berupa pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan
serikat buruh atau gabungan serikat buruh,
2)
Pertentangan
itu berkenaan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,
syarat-syarat kerja, dan/ atau keadaan perburuhan.
Sebenarnya P4 sama dengan arbitrase. Penyelesaian sengketa yang
terjadi antara buruh dan majikan dilakukan di luar pengadilan biasa (ordinary
court). Hanya kedudukan P4 bersifat memaksa (compulsory). Itu sebabnya menurut
hokum, P4 tergolong compulsory arbitration. Apabila terjadi sengketa
perburuhan, penyelesaiannya mesti melalui P4 sebagai badan tripartite dengan
komposisi terdiri dari: wakil buruh, wakil pengusaha, dan wakil pemerintah
Keberadaan dan yurisdiksi P4 ditegaskan dalam Putusan MA No.
1103K/Sip/1974, bahwa P4D/P4P merupakan pengadilan khusus yang berwenang
memutuskan sengketa perselisihan perburuhan, sedangkan putusan P4D hanya dapat
dibatalkan menteri perburuhan (menteri tenaga kerja), bukan oleh Pengadilan.
Pihak yang kalah dalam forum P4 tidak dapat meminta kepada PN agar putusan itu
dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat dilaksanakan. PN hanya dapat menyatakan
putusan P4 dapat dijalankan. Batas kewenangan P4 hanya meliputi:
·
Pemberian
pernyataan bahwa putusan P4D dapat
dijalankan, apabila putusan P4 itu telah berkekuatan mengikat
·
Suatu putusan
P4D dianggap mengikat menurut hokum apabila dalam tempo 14 hari setelah putusan
dijatuhkan, tidak diminta pemeriksaan lelang kepada P4 (panitia pusat)
Sengketa
mengenai PHK (pemutusan hubungan kerja) yang dilakukan majikan yang tidak
sesuai dengan ketentuan UU dianggap perbuatan melawan hokum (PMH) jatuh menjadi
yurisdiksi PN.
Dengan
diterbikannya UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, kewenangan menyelesaikan perselidihan yang timbul antara pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh, jatuh menjdi
yurisdiksi absolute pengadilan hubungan industrial (PHI) yang bertindak sebagai
pengadilan khusus, kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial, organisasinya dibentuk di PN.
Hal itu dit egaskan
dalam pasal 1 angka 17 yang berbunyi, “PMH adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan PN yang berwenang memeriksa, mengadili, dan member
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
c.
Pengadilan
pajak
Peradilan lain yang memiliki yurisdiksi khusus adalah pengadilan
pajak. Pengadilan pajak termasuk ke dalam lingkungan kekuasaan kehakiman
sebagaimana PN, PA, P Militer, dan PTUN. Bukan peradilan khusus seperti halnya
arbitrase, P4 dan mahkamah pelayaran. Akan tetapi tidak dimasukkan sebagai peradilan
dalam lingkup kekuasaan kehakiman maka secara teoritis dianggap sebagai
peradilan khusus.
Untuk menempatkan pengadilan pajak benar-benar berada dalam system
kekuasaan kehakiman yang berpuncak kepada MA, Bab III bagian kesepuluh UU No,
14 tahun 2004 mengatur keterkaitan pengadilan pajak dengan MA dalam bentuk
pengajuan PK terhadap putusan pengadilan pajak.
Yurisdiksi khusus pengadilan pajak diatur dalam pasal 31 ayat (1).
Menurut pasal ini, pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan
sengketa pajak. Dengan demikian yurisdiksi absolute pengadilan pajak hanya
sebatas mengenai sengketa pajak.
Keberadaan pengadilan pajak di bawah MA hanya terbatas pada
pembinaan dan pengurusan teknis yustisial. Sedang pembinaan organisasi, administrasi,
dan financial dilakukan depertemen keuangan. (Pasal 5 ayat (1,2) UU No 4 tahun
2004).
System
dualistic yang diatur pasal 11 UU No 14 tahun 2004 telah dihapuskan oleh pasal
13 ayat (1) UU No 14 tahun 2004, dan menempatkan pembinaan dan pengawasan semua
badan peradilan berada secara total di bawah MA, meliputi pembinaan dan
pengawasan teknis yustisial maupun organisasi, administrasi dan financial.
d.
Mahkamah
pelayaran
Badan ini diatur dalam ordonansi majelis pelayaran. Yurisdiksi
khususnya diatur dalam pasal 1, meliputi kewenangan:
1)
Memeriksa dan
memutus perkara yang timbul dari pasal 25 ayat (4, 7, 8, 11) ordonansi kapal
1935 (1939-66),
2)
Memeriksa dan
memutus peristiwa yaitu nakhoda yang melakukan tindakan yang tidak senonoh
terhadap kapal, muatan atau penumpang;
3)
Memeriksa dan/
atau memutus semua hal yang oleh suatu peraturan perundang-undangan dibebankan
kepada mahkamah pelayaran.
Susunan
mahkamah pelayaran terdiri dari: 1) 4 orang nakhoda atau bekas nakhoda
pelayaran niaga atau perwira TNI AL sebagai anggota; 2) seorang ahli mesin
kapal atau perwira teknik AL sebagai anggota; 3) seorang sarjana hokum sebagai
anggota; 4) seorang sekretaris, bukan anggota; 5) ketua diangkat menteri dan
anggota mahkamah pelayaran.
3.
Kewengangan absolute
berdasarkan factor instansional
Factor lain yang menjadi dasar
terbentuk kewenangan absolute mengadili
adalah factor instansional. Pasal 21 dan pasal 22 UU No 4 tahun 2004
memeperkenalkan system instansional penyelesaian perkara:
a.
Pengadilan
tingkat pertama
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum terdiri dari:
1)
Pengadilan
negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama yang
bekedudukan di kotamadya atau ibu kota.
2)
Pengadilan
tinggi (PT) sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota provinsi.
b.
Pengadilan
tingkat bandinag
semua putusan pengadilan tingkat pertama dapat diminta banding
kepada pengadilan tinggi yang berkedudukan di ibu kota provinsi yang berugas
dan berwenang mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding atas
segala putusan yang dijatuhkan PN dalam tingkat pertama. Dengan demikian fungsi
dan wewenang PT ialah melakukan koreksi terhadap putusan PN apabila terhadap
putusan itu dimintakan banding oleh pihak yang berperkara.
c.
Pengadilan
tingkat kasasi
Pengadilan kasasi atau tingkat kasasi dilakukan oleh MA terhadap
putusan dalam pengadilan tingkat banding atau pengadilan tingkat terakhir dari
semua lingkungan peradilan. Salah satu kekuasaan MA ialah bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan kasasi.
C.
Kewenangan
relative PN
Setiap PN terbatas daerah hukumnya. Hal itu sesuai dengan kedudukan
PN hanya berada pada wilayah tertentu, yaitu berkedudukan di kotamadya atau di
ibu kota kabupaten, dan derah hukumnya meliputi daerah kotamadya atau kabupaten
yang bersangkutan.
Tempat
kedudukan daerah hokum menentukan batas kompetensi relative mengadili bagi
setiap PN. Meskipun perkara yang sisengketakan termasuk yuridiksi absolute
lingkungan peradilan umum, sehingga secara absolute PN berwenang mengadilinya,
namun kewenangan absolute itu dibatasi oleh kewenangan mengadili secara
relative. Jika perkara yang terjadi berada di luar daerah hukumnya, secara
relative PN tersebut tidak berwenang mengadilinya. Apabila terjadi pelampauan
batas daerah hokum, berarti PN yang bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas
kewenangan (exceeding its power). Pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan dalam
perekara itu tidak sah.
Patokan yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan sesuai
dengan ketentuan undang-undanag adalah:
1.
Actor sequitur
forum rei (actor rei forum sequitur)
Patokan ini digariskan pasal 118
ayat (1) HIR yang menegaskan: 1) yang berwenang mengadili suatu perkara adalah
PN tempat tinggal tergugat; 2) gugatan harus diajukan dan dimasukkan kapada PN
yang berkedudukan di wilayah atau daerah tempat tinggal tergugat.
Mengajukan gugatan kepad PN di luara
wilayah tempat tinggal tergugat tidak dapat dibenarkan. Dianggap sebagai
pemerkosaan hokum terhadap kepentingan tergugat dalam membela diri. Rasio
penegakan patokan ini bertujuan untuk melindungi tergugat.
a.
Yang dimaksut
tempat tinggal tergugat
Menurut hokum, yang dianggap sebagai tempat tinggal seseorang
meliputi; tempat kediaman, tempat alamat tertentu, atau tempat kediaman
sebenarnya. Yang dimaksud tempat kediaman sebenarnya atau sebenarnya berdiam
adalah tempat secara nyata tinggal. Ketentuan perlu untuk mengantisipasi ahli
waris yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Dalam hal yang demikian gugatan
cukup diajukan kepada PN tempat tinggal sebenarnya dari pewaris.
b.
Sumber
menentukan tempat tinggal tergugat
Yang sah dan resmi dijadikan sumber menentukan tempat tinggal
tergugat, terdiri dari beberapa jenis akta atau dokumen. Yang terpenting di
antaranya: berdasrkan KTP, Kartu Rumah Tangga, Surat pajak, dan anggaran dasar
perseroan.
c.
Perubahan
tempat tinggal setelah gugatan diajukan
Perubahan
tempat tinggal tergugat setelah gugatan diajukan tidak memengaruhi keabsahan
gugatan ditinjau dari segi kompetensi relative dan demi menjamin kepastian
hokum (legal certainty) serta melindungi kepentingan penggugat dari kewenangan
dan iktikad buruk tergugat.
d.
Diajukan kepada
salah satu tempat tinggal tergugat
Apabila tergugat memiliki dua atau lebih tempat tinggal yang jelas
dan resmi, gugatan dapat diajukan penggugat kepada salah satu PN sesuai dengan
daerah hokum tempat tinggal tersebut. Berdasarkan bukti yang diajukan penggugat dan tergugat,
ditemukan fakta yang membuktikan tergugat mempunyai dua tempat tinggal yang
jelas, penggugat dapat memilih salah satu tempat tinggal tergugat yang paling
menguntungkan baginya.
e.
Kompetensi
relative tidak didasarkan atas kejadian peristiwa yang disengketakan
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa patokan kompetensi relative PN
mengadili suatu perkara berdasarkan tempat tinggal tergugat (actor sequitur
forum rei). Patokannya bukan locus delcty seperti yang diterapkan dalam perkara
pidana. Dalam perkara pidana, patokan kompetensi relative bukan tempat tinggal
terdakwa, tetapi di PN yang meliputi daerah hokum tempat terjadinya peristiwa
pidana.
f.
Penerapan asas
actor sequitur forum rei apabila objek sengketa benda bergerak dan tuntutan
ganti kerugian atas perbuatan melawan hokum
Apabila objek gugatan barang tidak bergerak, PN yang berwenang
mengadili adalah PN yang di daerah hokumnya baranag tersebut terletak.
Sehubungan dengan itu, penerapan yurisdiksi relative berdasarkan tempat tinggal
tergugat, terbatas dalam perkara yang menyangkut objek barang bergerak,
sebagaimana yang disebut Rv dalam pasal 99 ayat (1) yang berbunyi: “seorang
tergugat dalam perkara pribadi murni mengenai benda-benda bergerak dituntut di
hadadapan hakim di tempat tinggalanya”.
Penerapan asas tersebut juga berkaitan dengan tuntutan ganti
kerugian yang timbul dari perbuatan
melawan hokum meskipun timbul dari objek tidak bergerak, yurisdiksi relative
penyelesaian sengketa, tetap berdasarkan actor sequitur forum rei, bukan
berdasarkan tempat terletak barang (forum rei sitae).
2.
Actor sequitur
forum rei dengan hak opsi
Ketentuan penerapan asas ini
memberikan hak opsi kepada penggugat untuk memilih salah satu PN, diatur dalam
pasal 118 ayat (2) HIR, kalimat pertama yang menegaskan: “jika tergugat lebih
dari seorang sedangkan mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada
ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih
oleh penggugat”.
Beritik tolak dari ketentuan tersebut, penggugat diberi hak opsi
pengajuan gugatan berdasarkan asas actor sequitur forum rei dengan acuan
penerpan:
·
Tergugat yang
ditarik sebagi pihak, terdiri dari beberapa orang
·
Masing-masing
tergugat bertempat tinggal di daerah hokum PN yang berbeda
·
Dalam kasus
seperti ini, undang-undang memberi hak opsi kepada penggugat untuk memilih
salah satu PN yang dianggapnya paling menguntungkan.
3.
Actor sequitur
forum rei tanpa hak opsi, tetapi berdasrkan tempat tinggal debitur principil
Undang-undang tidak memberikan hak
opsi kepada penggugat, meskipun pihak tergugat terdiri dari beberapa orang.
Ketentuannya diatur pada kalimat kedua pasal 118 ayat (2) HIR dan pasal 99 ayat
(6) Rv yang menjelaskan:
1)
Dalam hal para
tergugat satu sama lain mempunyai hubungan:
a.
Yang satu
berkedudukan sebagai debitur pokok atau debitur principal
b.
Sedangkan yang
selbihnya berkedudukan sebagai penjamin
2)
Maka dalam
kasus demikian, kompetensi relative PN yang berwenang mengadili perkara adalah:
a.
PN yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok (principal)
b.
Kepada
penggugat tidak diberi hak opsi untuk memilih PN berdasarkan daerah hokum
tempat tinggal penjamin.
4.
PN di daerah
hokum tempat tinggal penggugat
Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat
pertama memberi hak kepada penggugat mengajukan gugatan kepada PN tempat
tinggal penggugat dengan syarat; 1) tempat tinggal atau kediaman pihak tergugat
tidak diketahui, 2) surat keterangan dari pejabat yang berwenang (kepala desa
tempat tinggal terakhir tergugat) yang menyatakan tempat tinggal tergugat tidak
diketahui.
Penerapan kompetensi relative berdasarkan tempat tinggal penggugat,
dapat diikutu dengan hak opsi bila pihak penggugat terdiri dari beberapa orang
dan bertempat tinggal dalam beberapa wilayah hokum PN yang berbeda, para
penggugat dapat memilih salah satu PN yang mereka anggap paling efektif dan
efisien.
5.
Forum rei sitae
(tempat barang sengketa)
Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat
terakhir berbunyi, “atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, maka tuntutan
itu diajukan kepada ketua pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak
barang itu”.
Pasal 142 ayat (5) RBG menjelaskan:
“ dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepeada ketua
pengadilan negeri di wilayah letak barang tetap tersebut, jika barang tetap itu
terletak di dalam wilayah beberpa pengedilan negeri, gugatan diajukan kepada
salah satu ketua pengadilan negeri tersebut atas pilihan penggugat”.
6.
Kompetensi
relative berdasarkan pemilihan domisili
Menurut pasal 118 ayat (4) HIR, para
pihak dalam perjanjian dpat menyepakati domisili yang berisi klausul, sepakat
memilih PN tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari
perjanjian. Pencantuman klausul harus berbetuk akta tertulis. Dapat langsung
dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian pokok, atau dituangkan dalam akta
tersendiri yang terpisah dari perjanjian pokok.
a.
Domisili
pilihan tidak tidak mutlak menyingkirkan asa actor sequitur forum rei
Persetujuan para pihak mengenai pilihan domisili pada prinsipnya
tunduk pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan
pasal 1338 KUH perdata. Oleh karena itu kesepakatan tersebut mengikat para
pihak untuk mentaati dan melaksanakan. Namun demikian, ketentuan pasal 118 ayat
4 sendiri membatasi tingkat derajat kekuatannya. Tidak bersifat mutlak, tetapi
bersifat sukarela, sebagaimana bunyi pasal 118 ayat 4 HIR “ maka penggugat jika
ia suka dapat memasukkan surat gugatan itu kepada ketua PN dalam daerah hokum
siapa terletak kedudukan yang dipilih itu”. Lebih jelas lagi pasal 99 ayat 16
Rv berbunyi; jika ada tempat tinggal pilihan, di hadapan hakim di tempat
tinggal pilihan itu atau di hadapan hakim di tempat tinggal nyata tergugat,
atas pilihan penggugat”.
b.
Kebebasan
memilih pada pihak penggugat
Pemilihan domisili kompetensi relative sebgaimana yang diatur dalam
pasal 24 KUH Perdata: bahwa dalam sengketa perdata di muka hakim, kedua belah
pihak yang berperkara, bahkan salah satu pihak berhak dan bebas memilih tempat
tinggal lain dari tempat tinggal mereka yang sebenarnya. Hak dan kebebasan
memilih itu dituangkan dalam akta, boleh akta otentik (akta notaris) atau bisa
juga berbentuk akta di bawah tangan. Sifat pemilihan domisili tersebut, dapat
secara mutlak kekuatan berlakunya mulai dari gugatan sampai dengan pelaksanaan
putusan, atau dapat juga secara terbatas sesuai dengan yang dikehendaki dan
disepakati para pihak. Dalam hal ada pemilihan domisili, kepda para pihak tetap
terbuka pilihan untuk memilih PN yang disepakati atau memilih PN di tempat mana
tergugat bertempat tinggal.
Kebebasab memilih kompetensi relative dalam hal ada kesepakatan
pilihan domisili, menurut undang-undan sepenuhnya berada pada pihak penggugat,
bukan pada pihak tergugat. Terserah penggugat untuk menentukan apakah gugatan
diajukan kepda PN di daerah hokum tempat tinggal tergugat atau kepada PN yang
disepakati.
c.
Terhadap
pilihan penggugat tidak dapat diajukan eksepsi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kesepakatan atas domisili
pilihan yang digariskan pasal 118 ayat 4 HIR, tidak dapat menyingkirkan secara
mutlak patokan kompetensi relative yang diatur pasal 118 ayat 1 HIR. Kepada
pihak yang bertindak dan mengambil inisiatif sebagai penggugat, undang-undang
memberi kebebasan memilih di antara kompetensi relative berdasarkan domisili
atau tempat tinggal tergugat. Bertitik tolak dari kebesan tersebut, tidak ada
dasar hokum bagi tergugat, mengajukan eksepsi terhadap kompetensi relative yang
dipilih penggugat. Pengadilan harus menolak eksepsi yang demikian atas dasar
pengajuan gugatan tidak melanggar batas dan system kompetensi relative yang
digariskan pasal 118 ayat 4 HIR.
7.
Negara atau
pemerintah dapat digugat pada setiap PN
HIR maupun RBG tidak mengatur forum
kompetensi relative suatu perkara, bila pemerintah Indonesia bertindak sebagai
penggugat atau tergugat mewakili Negara. Oleh karena itu tidak jelas PN mana
yang berwenang mengadilinya, apakah PN Jakarta pusat atau dapat diajukan pada
setiap PN. Namun pada masa lalu, hal itu telah diatur dalam pasal 99 ayat a8 Rv
yang berbunyi: “dalam hal pemerintah Indonesia mewakili Negara bertindak
sebagai penggugat atau tergugat maka Jakarta dianggap sebagai tempat
tinggalnya”. Apakah pasal tersebut dapat diterapkan? Berdasarkan process
doelmatigheid, dapat. Akan tetapi jika diterapkan secara mutlak dam imperative
pada masa sekarang, sangat bertentangan dengan asas cepat biaya ringan. Oleh
karena itu dapat didukung pendapat subekti,” bahwa ketentuan pasal 99 ayat 18
Rv itu dapat diberlakukan. Akan tetapi untuk memberi keleluasan kepada pencari
keadilan mungkin lebih tepat apabila Negara dapat digugat di setiap PN di mana
p[erwakilan depertemen yang bersangkutan berada”. Dalam kapasitas mereka
sebagai legal mandatory dari pemerintah atau depertemen yang bersangkutan,
tidak memerlukan surat kuasa khusus dari pemerintah pusat.
D.
Hak choice of
jurisdiction atau choice of court berdasarkan prinsip appropriate forum
1.
Choice of court
melibatkan antar Negara
Permasalahan choice of jurisdiction
atau choice of court, berkaitan dengan doktrin in convenient forum. Disebut
juga forum non conveniens. Makna in convenient forum, memberi kebebasan untuk
memilih kantor pengadilan untuk memperoses perkaranya. Doktrin ini membuka
pemilihan forum alternative di antar dua atau beberapa pengadilan yang terdapat
di beberapa Negara brdasrkan factor favorable. Apabila dinilai penyelesaian
sengketa kurang baik (less favorable) diadili oleh pengadilan Negara A dapat
dipilih forum alternative di pengadilan Negara B.
2.
Appropriate
forum bardasarkan the most real and
substantial connection dengan sengketa
Salah satu kasus yang dianggap
landmark penerpan choice of jurisdiction berdasarkan prinsip secara nyata
terdapat koneksitas yang lebih sibstansial dengan sengketa atau the most real
and substantial connection with the disputes adalah Amin Rasheed shipping corp.
vs Kuwait insurance Co. 1984. Kasus ini berkenaan dengan yurisdiksi asuransi
berdasarkan RSC Ord. 11 r 1 (1). Pengadilan (house pf lords) memutuskan,
meskipun tuntutan bersumber dari kontrak yang tunduk kepada hokum inggris
(Governed by English law), hal itu tidak merupakan alas an yang menyulitkan
bagi pengadilan Kuwait menerapkan hokum inggris dalam mengadili perkara. Oleh
karena ditinjau dari beberapa factor keadaan yang terkait dalam kasus itu,
pengadilan kwait dianggap lebih layak (most appropriate) untuk mengadili di
banding pengadilan inggris. Governing law (hokum inggris) tidal merupakan
factor koneksitas releven disbanding factor yang lain. Oleh karena itu, tanpa
mengurangi kenyataan adanya factor kesepakatan, hokum yang brlaku adalah hokum
inggris, secara prima facie terdapat beberapa connecting factors yang kuat
mengenai sengketa dengan Kuwait disbanding dengan inggris. Dengan demikian,
pengadilan Kuwait dianggap the most appropriate for the resolution of the disputes.
3.
The most
appropriate forum, ditentukan beberapa factor
menetukan pengadilan mana yang lebih layak
(the most appropriate), bertitik tolak dari kenyataan koneksitas yang lebih
substansial dengan sengketa. Substansial atau tidaknya koneksitas dengan
pengadilan tertentu, bertitik tolak dari jenis, sifat, atau bentuk factor-faktor
koneksitas yang dinilai sangat releven, antara lain: kemudahan dan biaya
perkara (convenience dan expense), ketersediaan (availability) saksi dan
dokumen, tempat tinggal para pihak (the place where parties reside), tempat
kegiatan usaha (the place where carry on business), hokum yang mengatur
(governing law). Apabila factor itu berdiri sendiri berhadapan dengan beberpa
factor lain, governing law tidak bisa diunggulkan sebagai factor koneksitas
yang kuat.
4.
Doktrin
appropriate forum, dibenarkan peradilan Indonesia
Penerapan choice of jurisdiction
atau choice of court berdasarkan doktrin in convient forum, diakui perdilan di
Indonesia. Meskipun para pihak dalam perjanjian telah menyepakati pengadilan
Negara lain yang berwenang memeriksa penyelesaian sengketa, yurisdiksi
pengadilan Negara lain itu disingkirkan
berdasarkan prinsip appropriate forum, sehingga kewenangan yurisdiksi
beralih kepada pengadilan Indonesia.
Penyingkiran kewenangan pengadilan
asing yang disepakati semakin beralasan
apabila atas kesepakatan itu sendiri terdapat klausul in convenient forum yang
berisi penegasan, tetap memberi hak kepada salah satu pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa di hadapan pengadilan Negara lain. Dalam perjanjian
berkala internasional, sering dijumpai kesepakatan yang mengatur penyelesian
yang timbul dari perjanjian dalam bentuk: disepakati pengadilan yang berwenang
adalah pengadilan Negara tertentu seperti misalnya singapura, akan tetapi
ketentuan itu dibarengi dengan klausul yang memberi hak kepada pihak kreditur
atau salah satu pihak untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan Negara lain di
luar pengadilan singapura .
E.
Sengketa
kewenangan mengdili
1.
Pasal 33 ayat
(1) UU No. 14 tahun 1985 diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 sebagai rujukan
Mengenai permasalahan sengketa
kewenangan mengadili diatur dalam pasal 33 ayat 1 UU No 14 tahun 1985
sebagaiman diubah dengan UU No 5 tahun 2004 terdiri dari psal itu saja.
2.
Bentuk sengketa
kewenangan mengadili menurut pasal 33 ayat (1)
a.
Sengketa
kewenangan absolute
Sengketa mengadili antara satu lingkungan peradilan dengan
lingkungan peradilan lain, antara pengadilan tingkat banding dengan lingkungan
peradilan yang berlainan.
b.
Sengketa
kewenangan relative
Sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat pertama
yang terdapat dalam satu lingkungan peradilan yang sama (antara PN dengan PN
atau PA dengan PA), antara pengadilan tingkat banding yang terdapat dalam
lingkungan peradilan yang sama juga. Sedangkan
sengketa mengadili antara pengadilan dengan peradilan khusus, antara
peradilan Umum dengan arbitrase atau pengadilan pajak, tidak disinggung dalam
pasal 33 tsb. Meskipun demikian, pasal tsb dapat dijadikan pedoman
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara lingkungan peradilan umum dengan
badan peradilan khusus.
3.
Patokan
menentukan sengketa kewenangan mengadili
Pedoman menentukan ciri atau patokan
sengketa kewenangan mengadili dapat merujuk kepada pertimbangan yang
dikemukakan putusan MA No. 04/SKM/perd/ 1984, antara lain:
Apabila pada waktu yang bersamaan
beberapa pengadilan menerima gugatan yang perkara pokoknya, pihak-pihaknya, dan
objeknya sama, serta pristiwa hukumnya sama, dan masing-masing PN atau
pengadilan yang menerima gugatan itu berpendapat, berwenang mengadili perkara
tersebut, maka dalam hal yang seperti itu timbul sengketa kewenangan mengadili.
Jika yang menerima gugatan itu terdiri dari PN, PA, atau PERATUN, sengketa yang
terjadi, kewenangan mengadili absolute. Sebaliknya kalau yang menerima gugatan
terdiri dari beberapa PN dalam satu lingukangan peradilan, maka yang terjadi
sengketa mengadili secara relative. Akan tetapi jika perkara-paerkara yang
diajukan kepada beberapa pengadilan ternyata dasar gugatan berbeda, dalam kasus
seperti itu tidak terkandung factor sengketa kewenangan mengadili meskipun
pihak yang berperkara sama dan objek yang disengketakan sama.
4.
MA yang berwenang
memutus
Pasal 33 ayat 1 menegaskan, yang
berwenang memutus sengketa kewenangan mengadili yang terjadi di lingkungan peradilan dalah MA. Dalam hal ini. MA
berkedudukan dan berfungsi: sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir.
Dengan demikian, putusan yang dijatuhkan MA bersifat final dan mengikat baik
kepada para pihak yang berperkara maupun kepada badan peradilan yang
bersangkutan. Selanjutnya dalam putusan dimaksud, MA harus memberi penegasan
tentang ada atau tidak sengketa kewenangan mengadili. Bila ada. MA harus
menetapkan pengadilan mana yang berwenang mengadili.
5.
Yang berhak
mengajukan
Tidak disebutkan dalam pasal 33 ayat
1 siapa atau pihak mana yang berhak mengajukan sengketa mengadili kepada MA.
Namun berdasarkan pengalaman praktik dapat dijelaskan;
a.
Pihak yang
berperkara
Yang paling berkepentingan atas penyelesaian sengketa kewenangan
mengadili adalah pihak yang berperkara. Merekalah yang paling berhak mengajukan
penyelesaian, baik sendiri atau melalui kuasa. Prosedurnya adalah:
1)
Mengajukan
permohonan
Membuat permohonan yang berisi dan menjelaskan fakta tentang adanya
beberapa perkara yang sama pihak, objek, dasar gugatan, dan peristiwa hukumnya,
telah diajukan kepada beberapa pengadilan. Masing-masing pengadilan sama-sama
berpendapat, berwenang mengadili. Fakta tentang itu dapat didasarkan pada
kenyataan bahwa masing-masing pengadilan yang bersangkutan telah melaksanakan
proses pemeriksaan
2)
Permohanan
diajukan kepada MA
Permohonan yang diajukan dapat langsung kepada MA, atau melalui
salah satu pengadilan yang terlibat.
b.
Pengadilan yang
terlibat
Salah satu pengadilan yang terlibat dalam sengketa mengadili,
secara moral harus bersifat proaktif mengajukan permasalahan itu kepada MA.
Misalnya, setelah ssatu pihak yang berperkara menjelaskan, apakah dalam bentuk
seksepsi atau jawaban, bahwa perkara yang disengketakan sama persis dengan
perkara yang diperiksa dalam pengadilan lain. Segera setelah itu, salah satu
pengadilan yang terlibat, harus meminta penyelesaian kepada MA. Sebaliknya,
sambil menunggu putusan dari MA, proses pemeriksaan dihentikan oleh
masing-masing pengadilan yang terlibat agar dapat dihindari penjatuhan putusan
yang saling bertentangan.
Tindakan
menghentikan pemeriksaan berpedoman kepada SEMA No 1 tahun1996, anatara lain
menegaskan apabila pihak yang berperkara atau ketua pengadilan karena
jabatannya mengajukan sengketa mengadili kepada MA maka: pengadilan harus
menunda pemeriksaan perkara tsb. Penundaan dituangkan dalam bentuk penetapan.
Mengirimkan salinan penetapan penundaan kepada pengadilan yang mengadili
perkara yang sama. Pengadialan yang meneriama salinan penetapan harus menunda
pemeriksaan sampai ada putusan MA tentang itu.
No comments:
Post a Comment