MAKALAH
Hukum
perdata
Tentang
HUKUM WARIS
JURUSAN
AHWAL AL-SYAKHSYIYAH (AS)
OLEH
LATIPAH
: 152 102 044
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
MATARAM
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai
seorang makhluk tuhan yaitu sebagia insan yang bernyawa, maka kita tidak lepas
yang namanya suatu kematian, karena setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Apabila
kita berbicara masalah kematian maka pada saat itu ada kerabat atau keluarga
yang ditinggalkan. Di dalam keluarga
jika salah seorang yang meninggal dunia dan mempunyai harta yang ditinggalkan,
maka harta yang ditinggalkan itu agar bisa bermamfaat untuk keluarganya maka
harta tersebut harus dibagikan kepada
keluarganya yang masih hidup yang disebut dengan warisan.
Dalam
pembagian harta warisan akan diatur bagaimana warisan itu dibagikan, kepada
siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana besar warisan yang
bisa di peroleh, dan lain-lain.
Dalam
pembahasan hukum waris ini, disini penulis akan lebih fokus membahasan materi
hukum waris KUH Perdata, tapi disamping penulis membahas waris menurut KUH
Perdata juga akan dibahas secara ringkas hukum waris adat dan hukum waris
islam. Karena hal ini sangat penting untuk membandingkan dan di analisis guna
mengetahui ke arah mana pembinaan hukum waris nasional tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Dalam
bab waris ini penulis dapat memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
perbandingan waris menurut KUH Perdata, hukum adat dan hukum waris islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris
Di dalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian
hukum waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsep-konsep tentang pewarisan,
orang-orang yang berhak dan tidak berhak menerima waris, dan lain-lain. Namun,
di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu di dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991
berbunyi: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.[1]
Hukum
waris dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Hukum
waris tertulis
Hukum waris tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan UU dan
Yurisprudensi.
2. Hukum
waris adat
Hukum waris adat adalah
hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat adat.
B. Sistem
Hukum Waris Islam dan BW
1.
Sistem hukum waris islam
Hazarin dalam bukunya Hukum
Kewarisan Bilateral Menurut Al-quran mengemukakan bahwa “Sistem kewarisan
islam adalah sistem individual bilateral.[2]
Dikatakan demikian atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam al-quran diantranya
seperti yang tercantum dalam masing-masing surat An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 33,
dan 176.
Hazarin juga
mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri sistem hukum waris islam
menurut al-quran, yaitu:
-
Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan
orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum
waris di luar al-quran hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin
sebagai ahil waris jika pewaris meninggal dunia tampa keturunan.
-
Jika meninggal dunia tampa keturunan
maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai
ahli waris dengan orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya.
-
Suami-istri saling mewarisi; artinya,
pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris pihak lainnya.
2. Sistem
Hukum Waris BW
Sistem waris BW tidak
mengenal istilah “Harta asal maupun harta gono gini” atau harta yang diperoleh
bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga
merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih
dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisannya. Seperti yang
ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu: “Undang-undang tidak memandang akan sifat
atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan
terhadapnya”. Sedangkan dalam sistem hukum waris adat membedakan “macam” dan
“asal” barang yang ditingglkan pewaris.
C. Azaz Hukum Waris Mengenai Pewaris
dan Diri Ahli Waris.
Terdapat
lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta warisan,
cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang
diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu:[3]
cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang
diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu:[3]
1. Asas ijbari (paksaan)
Dalam hukum waris Islam mengandung
arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung
kepada kehendak dari pewaris atau
permintaan dari ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan hukum BW di mana pewaris
dapat menunjuk ahli waris melalui wasiat.
2. Asas Bilateral
Asas ini mengandung arti bahwa harta
warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Setiap orang menerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu seorang lakilaki berhak mendapatkan
warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, dan begitu juga
sebaliknya.
3. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas
kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi
untuk dimiliki secara perorangan. Masing masing ahli waris menerima bagiannya
secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian
jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar
bagian masing-masing.
4. Asas keadilan berimbang
Keadilan berimbang dalam hukum waris Islam adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara yang diperoleh
dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan
gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan hak yang sama
kuat untuk mendapatkan warisan, walaupun dari segi jumlah yang diperoleh memang
tidak sama. Meskipun demikian, hal tersebut bukan berarti tidak adil. Karena
keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya
diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap istri (keluarganya).
diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap istri (keluarganya).
5. Asas semata akibat kematian
Hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu
kewarisan akibat kematian semata. Harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Segala
bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun
terlaksana setelah dia mati tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut
hukum Islam.
D. Penggolongan Ahli Waris Dan Tentang
Ketidakpatuhan
Ada
dua macam ahli waris yang diatur dalam UU, yaitu:
1. Ahli
waris berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah (Ab Intestato)
Ahli
waris Ab Intestato diatur dalam pasal 832 KUH Perdata yang berbunyi “Yang
berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut UU
maupun yang diluar pernikahan, dan suami istri yang hidup terlama.[4]
Yang dimaksud dengan
keluarga sedarah dan istri (suami) digolongkan menjadi empat golongan sebagai
berikut:[5]
-
Anak, atau keturunannya dan istri
(suami) yang hidup. (pasal 852 KUH perdata)
-
Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara
pewaris (pasal 854 KUH Perdata)
-
Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya
dalam garis lurus keatas (pasal 853 KUH Perdata)
-
Sanak keluarga dalam garis kesamping
sampai tingkat ke enam. (pasal 861 ayat 1 KUH Perdata).
a) Ahli
waris golongan pertama (Pasal 852 KUH Perdata)
Menurut
ketentuan pasal 852 KUH Perdata, anak-anak walaupun dilahirkan dari perkawinan
yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki-laki atau perempuan mendapatkan
bagian yang sama, mewarisi orang demi orang.
Berhubungan
dengan anak adopsi, menurut Ali Afandi, menyatakan bahwa anak adopsi ini
kedudukannya di dalam hukum sama seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang
yang mengadopsinya. Hal ini terdapat dikalangan orang Indonesia keturunan cina.[6]
b) Ahli
waris golongan kedua (Pasal 854 KUH Perdata)
Menurut
ketentuan pasal 854 KUH Perdata, apabila seseorang meninggal dunia tampa
meninggalkan keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah dan ibunya masih
hidup, yang berhak mewarisi adalah ayah, ibu, dan saudaranya, yaitu:
·
Ayah dan ibu masing-masing mendapat
sepertiga dari harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang
saudara, yang mendapat sepertiga lebihnya.
·
Ayah dan ibu masing-masing mendapat
seperempat dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari
seorang saudara, yang mendapat dua perempat lebihnya.
Selanjutnya, dalam pasal 855 KUH Perdata
ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu tampa meninggalkan
keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah atau ibunya masih hidup, maka:
·
Ayah atau ibu mendapat seperdua dari
harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang
mendapat seperdua lebihnya.
·
Ayah atau ibu mendapat sepertiga dari
harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara, yang
mendapat dua pertiga lebihnya.
·
Ayah atau ibu mendapat seperempat dari
harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara,
yang mendapat tiga perempat lebihnya.
Jika ayah dan ibu telah meninggal dunia
, seluruh harta warisan menjadi bagian saudara-saudara (Pasal 856 KHU Perdata).
c) Ahli
waris golongan ketiga (Pasal 853 KUH Perdata)
Menurut
pasal 853 dan 858 KUH Perdata, apabila orang yang meninggal dunia itu tidak
meninggalkan, baik keturunan istri atau suami, saudara-saudara, maupun orang
tua, harta warisan jatuh pada kakek dan nenek.[7]
d) Ahli
waris golongan keempat
Keluarga
sedarah dalam garis menyamping lebih dari derajat keenam tidak mewaris. Jika
dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang membolehkan
untuk mewaris, semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh
harta warisan. (Pasal 861 KUH Perdata).
2. Ahli
waris berdasarkan surat wasiat (Testamentair)
Sehubungan
dengan pewaris, yang penting dipersoalkan adalah perbuatan pewaris pada masa
hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila ia meninggal dunia, apakah sebelum
ia meninggal dunia apa ada wasiat yang ditinggalkannya kepada seseorang
mengenai harta kekayaannya yang disebut surat wasiat (testament).
Surat
wasiat (testament) adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang
apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan olehnya dapat ditarik kembali
(Pasal 875).[8]
Menurut
UU, apabila pewaris mempunyai wasiat atau meninggalkan wasiat, maka wasiat itu
harus ditulis yang berisi pernyataan apa yang dikehendaki pewaris setelah
meninggal dunia sebagaimana dalam hadis dinyatakan bahwa: “Hak setiap orang
muslim apabila memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, maka wasiatnya harus ditulis
dan disimpan sebelum lewat dua malam”. Dan masalah ini dijelaskan dalam Pasal
875 KUH Perdata yang menyatakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah sebuah
akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi
setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.
Berdasarkan
ketentuan pasal 875 KUH Perdata surat wasiat dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu:
a. Surat
wasiat menurut bentuknya
Menurut
ketentuan pasal 931 KUH Perdata, ada tiga macam surat wasiat menurut bentuknya,
yaitu:
ü Surat
wasiat olografis atau ditulis tangan sendiri.
Surat
wasiat olografis adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani
sendiri oleh pewaris. Surat wasiat alografis harus disimpan pada seorang
notaries. Penyimpanan tersebut harus dilakukan dengan akta penyimpanan, yang
dibuat oleh notaries yang menyimpan surat wasiat, kemudian ditandatangani oleh
notaries yang menyimpan surat wasiat tersebut, pewaris, dan dua orang saksi
yang menghadiri peristiwa tersebut (Pasal 932 KUH Perdata)[9]
ü Surat
wasiat umum.
Surat
wasiat umum adalah surat wasiat dengan akta umum yang harus dibuat di hadapan
Notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
ü Surat
wasiat rahasia atau tertutup.
Surat
wasiat rahasia atau tertutup adalah surat wasiat yang dibuat oleh pewaris
dengan tulisan sendiri atau ditulis dengan orang lain, yang ditandatangani oleh
pewaris.
b. Surat
wasiat menurut isinya
Menurut
isinya ada dua macam surat wasiat, yaitu:
ü Surat
wasiat pengangkatan waris (erfsteling)
Menurut
ketentuan Pasal 954 KUH Perdata, wasiat pengangkatan ahli waris adalah suatu
wasiat, dimana pewaris memberikan kepada satu orang atau lebih harta benda yang
ditinggalkannya pada waktu dia meninggal dunia, seluruh maupun sebagian,
seperti seperdua atau sepertiga.[10]
ü Surat
wasiat hibah (legat)
Menurut
ketentuan pasal 957 KUH Perdata, hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, di
mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu,
atau semua barang-barang dari macam tertentu; misalnya, semua barang-barang
bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau
semua barangnya.[11]
Di dalam BW
Sistem pembatasan dalam hal Ab Intestaat (hibah wasiat) tentang besar kecilnya
harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris diatur dalam Pasal 913-929
BW
Adapun tentang ketidakpatuhan, menurut ketentuan
pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris adalah
1. Mereka
yang telah dihukum karena dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh
pewaris
2. Mereka
yang dengan keputusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan
pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. Mereka
yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat surat
wasiatnya
4. Mereka
yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris
Berbeda
dengan KUH Perdata adalah hukum waris adat menurut uraian Prof. Hilman
Hadikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila
dosanya itu diampuni, ia tetap bisa menerima warisan.[12]
Sedangkan
menurut hukum waris islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. Pembunuh
pewaris
2. Orang
yang murtad
3. Orang
yang berbeda agama dengan pewaris
4. Anak
zina
E. Pewarisan Dalam Hal Adanya Anak
Diluar Kawin
Status
kelahiran anak di luar pernikahan dapat dilihat melalui:
1.
Pandangan
Hukum Adat
Bila
dipandang dari segi hukum adat, jika seorang
wanita yang melahirkan anak diluar pernikahan, maka hanya mempunyai
hubungan dengan ibunya.[13]
Akan tetepi apabila pada waktu melahirkan anak, si ibu telah mempunyai suami,
maka anak itu adalah anak sah, bukan anak yang lahir diluar pernikahan. Maka
dalam hal ini apabila seorang wanita melahirkan anak diluar pernikahan, maka
seorang anak itu hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya dan keluarga dari
ibunya, sebaliknya apabila anak itu yang meninggal, maka harta peninggalannya
hanya diwarisi oleh ibunya dan keluarga ibunya.[14]
2.
Pandangan
Hukum Islam
Menurut
hukum islam anak yang lahir diluar pernikahan ditetapkan adanya tenggang waktu
yaitu tenggang waktu nikah si isteri dengan kelahiran si anak dan tenggang yang
selama-lamanya harus ada antara putusnya perkawinan dengan lahirnya si anak.
3.
Pandangan
Hukum BW
Dalam
BW yang mengatur hubungan hukum tentang kewarisan antara si ibu dan si anak
diluar pernikahan, yaitu tercantum pada pasal-pasal 862/873 BW.
Oleh BW ada kemungkinan
seorang anak tidak hanya tidak mempunyai bapak, melainkan juga tidak mempunyai
seorang ibu dalam pengertian, antara anak dengan seorang wanita yang
melahirkannya itu, tidak ada perhubungan hukum sama sekali tentang pemberian
nafkah, warisan dan lain-lain. Antara anak dan si ibu baru mempunyai perhubungan hukum, apabila si ibu mengakui
anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem
tertentu, yaitu menurut pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak atau dalam
akte pernikahan bapak dan ibu di depan Pegawai Catatan Sipil (ambtenaar bijdi
Burgerlijk stand), atau dengan akte otentik tersendiri ( akte notaries) atau
jadi ½ dan tidak ¼ dari bagian anak sah.
Di dalam Burgerlijk
Wetboek ada tiga jenis anak:
-
Anak sah
-
Anak diluar pernikahan yang diakui
sebagai anak
-
Anak diluar pernikahan yang tidak diakui
Besarnya bagian warisan yang diperoleh
anak luar kawin adalah tergantung dari dengan bersama-sama siapa anak luar
kawin itu mewaris (dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu
mewaris).[15]
Adapun
besar warisan yang diperoleh dari anak yang diluar kawin adalah sebagai
berikut:
1. Anak
luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan I, bagiannya: 1/3 dari bagiannya
seandainya dia anak sah.
contoh:
A meninggal, meninggalkan istrinya B dan dua anak
kandung C dan D serta seorang anak luar kawin yang diakui sebelum
perkawinanya dengan B, yaitu E, maka pembagian warisannya:
|
BB
|
A
|
E
|
D
|
C
|
E mendapat 1/3
seandainya ia anak sah.
Seandainya E anak sah,
maka bagiannya adalah ¼. maka bagian E = 1/3 x ¼ = 1/12
2. Anak
luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan II dan III, bagiannya : ½ dari seluruh warisan.
3. Anak
luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan IV, bagiannya: ¾ dari seluruh
warisan
F. Legitieme Portie (Bagian Mutlak) Dalam
Waris
Legitieme Portie atau bagian waris menurut UU ialah suatu
bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis
lurus menurut UU, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh
mendapatkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup,
maupun sebagai wasiat (Pasal 913) KUH Perdata.[16]
Maksud dari garis lurus itu adalah garis lurus ke
bawah atau garis lurus ke atas, artinya jika tidak ada ahli waris lurus ke
bawah, maka garis lurus ke atas berhak atas legitieme portie. yang berhak atas
legitieme portie disebut legitimaris.[17]
Dalam
pemabahasan legitieme portie ditempatkan dalam pokok bahasan mengenai harta
warisan, sebab legitieme portie itu hanya akan ada artinya apabila pewaris
meninggalkan harta warisan dan wasiat.
Besarnya legitieme portie ahli waris dalam garis
lurus ke bawah diatur dalam pasal 914 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut
ditetapkan besarnya legitieme portie sebagai berikut:
1. Apabila
hanya ada satu orang anak sah, legitieme portie adalah seperdua dari harta
warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat.
2. Apabila
ada dua orang anak sah, legitieme portie untuk masing-masing anak adalah 2/3
dari harta warisan yang diperolehnya tampa ada surat wasiat.
3. Apabila
ada tiga orang anak sah atau lebih, legitieme portie untuk masing-masing anak
adalah ¾ dari harta warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat.
Menghitung besar legitieme portie harus
memperhatikan ketentuan pasal 916a KUH Perdata. Dalam hal ada ahli waris mutlak
dan ahli waris tak mutlak maka penghibahan harus tidak melanggar legitieme
portie yang ditentukan. Penentuan legitieme portie itu tampa memperhitungkan
adanya ahli warisa tak mutlak. Apabila penghibbahan itu melebihi jumlah
legitieme portie yang ditentukan tampa memperhitungkan ahil waris tak mutlak,
maka kelebihannya dituntut kembali oleh ahli waris mutlak. Maksudnya ketentuan
pasal 916a ini ialah supaya ahli waris tak mutlak mendapat perlindungan dari
ahli waris mutlak, sehingga bagian warisannya tidak dirugikan oleh penghibahan
yang dilakukan oleh pewaris.[18]
Contoh cara menghitung besarnya legitieme portie
dalam hal ada wasiat terhadap harta warisan. Pewaris meninggalkan seorang anak
dan seorang istri. Anak adalah ahli waris mutlak, istri adalah ahli waris tak
mutlak. Bagian anak dan ibu sama, bagian anak ½ warisan (pasal 852a ayat 1 KUH
Perdata). Legitieme portie anak tersebut adalah seperdua kali seperdua warisan
sama dengan seperempat warisan (pasal 914 KUH Perdata). Dengan demikian warisan
yang dapat dihibahkan adalah semua warisan dikurangi seperempat warisan sama
dengan tiga perempat warisan.
Dengan perhitungan ini jelas bahwa istri tidak
memperoleh bagian apa-apa, sebab harta warisan setelah dikurangi dengan
legitieme portie anak (seperempat warisan) dapat dihibahkan semua (tiga
perempat warisan). Dengan adanya ketentuan pasal 916a KUH Perdata keadaan
menjadi lain. Berdasarkan pasal ini, istri karena bukan ahli waris mutlak tidak
dihitung dulu sebagai ahli waris. Yang dihitung hanya anak sebagai ahli waris
mutlak. Dengan mengesampingkan istri tadi maka anak memperoleh seluruh warisan
(pasal 852 KUH Perdata).
Dengan demikian, legitieme portie anak adalah
seperdua dari seluruh warisan (pasal 914 KUH Perdata). Yang dapat dihibahkan
adalah seperdua harta warisan, sisanya ialah tiga perempat warisan. Karena yang
dapat dihibahkan sekarang hanya seperdua warisan, maka masih terdapat seperdua
warisan untuk para ahli waris, baik mutlak maupun tak mutlak. Seperdua warisan
dibagi antara anak dan istri. Menurut pasal 852a KUH Perdata bagian istri sama
dengan bagian anak. Dengan demikian istri mendapat seperempat warisan anak
mendapat seperempat warisan. Jelaslah bahwa pasal 916a KUH Perdata memberi
perlindungan terhadap ahli waris tak mutlak sehingga ia tidak dirugikan oleh
penghibahan yang dilakukan oleh pewaris.
Untuk menentukan besarnya legitieme portie dalam
suatu kewarisan, maka akan diikuti ketentuan pasal 921 KUH Perdata. Menurut
ketentuan pasal tersebut:
1. Harta
peninggalan pada waktu pewaris meninggal dunia ditetapkan jumlahnya, bedasarkan
harga pada waktu pewaris meniggal.
2. Jumlah
itu harus ditambah dengan jumlah harga barang yang dihibahkan pada waktu
pewaris masih hidup. Barang itu harus dinilai menurut keadaan waktu diadakan
penghibahan dengan harga pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Jumlah
yang terdapat tersebut dikurangi dengan segala hutang pewaris.
4. Sisa
pengurangan ini dijadikan dasar untuk menghitung legitieme portie para ahli
waris mutlak.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan warisan ialah harta
yang ditinggalkan oleh pewaris untuk diwarisi setelah pewaris meninggal dunia.
Di negara indonesia berlaku tiga hukum adat diantaranya:
1. Hukum
waris islam
2. Hukum
waris adat
3. Hukum
waris BW
Ketiga hukum waris
menganut sistem kekeluargaan yang dimana
mempunyai segi-segi perbedaan yang amat mencolok yang dapat paparkan sebagai berikut:
1. Sistem
patrilineal/sifat kebapan
2. Sistem
matrilineeal/ sifat keibuan
3. Sistem
bilateral/Sifat kebapak-ibuan
Dari
uraian diatas semakin jelas bahwa sistem keturunan yang berlaku dimasyarakat
khususnya masyarakat indonesia bahwa sistem hukum kewarisan bersifat
pluralistik sehingga apabila ingin melakukan pembaharuan guna untuk unifikasi
hukum maka akan sulit, karena mempunyai aneka ragam hukum waris yang berlaku.
DAFTAR RUJUKAN
Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Renika Cipta.
1997.
Muhammad,
Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 2000.
Oemarsalim.
Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta:
Renika Cipta. 1991.
Perangin,
Effendi. Hukum Waris. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 2010.
Salim
HS. Pengantar Hukum Perdata
Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika. 2006.
Soimin,
Soedharyo. Kitab Undang-Undang HUkum
Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Suparman, Eman. Hukum Waris
Indonesia:Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. Bandung: Refika Aditama.
2005.
[1]
Dikutip dari Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika), h, 137.
[2]
Dikutip dari, Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam perspektif islam,
adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama), h, 15.
[4]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata…, h, 216.
[5]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), h, 284
[6]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia..., h, 285.
[7]
Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perdata Indonesia…, h. 216.
[8]
Dikutip dari Ali Afandi, HUkum Waris,
HUkum KEluarga, HUkum Pembuktian, (Jakarta: Renika CIpta), h, 14.
[9]
Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), h, 203
[10]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata…, h. 243.
[11]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata.., h. 244
[12]
Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perdata Indonesia…, h, 289.
[13]
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di
Indonesia (Jakarta: Renika Cipta), h, 65.
[14]
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di
Indonesia…, h, 66.
[15]
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada), h, 65
[16]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata (Jakarta: Sinar Grafika), h, 233.
[17]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia…, h, 294.
[18]Ali
Afandi, 1963:43, dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia…, h, 295.
No comments:
Post a Comment