RESUME HUKUM ACARA PERDATA
(HUKUM ACARA PERDATA, M.YAHYA HARAHAP)
By Siti Sumaiyah
VI B / AS
BAB 6
TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA
A.
PENGERTIAN
PANGGILAN (CONVODATION, CONVOCATIE)
Ø Dalam Arti Sempit
Perintah
menghadiri sidang pada hari yang ditentukan.
Ø Dalam Arti Luas
Menurut Hukum acara Perdata yaitu menyampaikan secara resmi (official)
dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan
majelis hakim atau pengadilan.
Menurut Pasal 388 HIR yaitu :
·
panggilan
sidang pertama kepada penggugat dan tergugat;
·
panggilan
menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu pihak apabila
pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan
yang sah;
·
panggilan
terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan
Pasal 139 HIR (dalam hal ini mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting
ke persidangan);
·
selain daripada
itu, panggilan dalam arti luas, meliputi juga tindakan hukum pemberitahuan atau
aanzegging (notification), antara lain:
o
pemberitahuan
putusan PT dan MA,
o
pemberitahuan
permintaan banding kepada terbanding,
o
pemberitahuan
memori banding dan kontra memori banding , dan
o
pemberitahuan
permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi.
Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi
pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang
mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam
pemberitahuan.
Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi
melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya panggilan dari juru sita yang
dianggap sah dan resmi. Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat
(1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan dalam
penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan.
B.
TAHAP DAN
TINDAKAN YANG MENDAHULUI PEMANGGILAN
Berdasarkan
Pasal 118 ayat(1) dan Pasal 121 ayat (4), panggilan merupakan tindakan lanjutan
dari tahap berikut ini:
1.
Penyampaian
Gugatan kepada Pengadilan Negeri (PN)
Menurut
Pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN berdasarkan
kompetensi relatif:
·
dalam bentuk
surat gugatan (in writing),
·
ditandatangani
oleh penggugat atau kuasanya, dan
·
dialamatkan
kepada ketua PN.
2.
Pembayaran
Biaya Perkara
Pasal
121 ayat (4) HIR menyatakan dengan tegas pembayaran biaya perkara disebut juga
panjar perkara dan merupakan syarat imperatif (imperative requirement)
atau syarat memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi.
Konsekuensi
atas pasal ini, yaitu:
·
gugatan tidak
didaftar dalam buku register perkara,
·
perkara atas
gugatan itu, dianggap tidak ada (never existed), dan
·
gugatan tidak
bisa di proses dalam persidangan pengadilan.
a.
Yang Dimaksud
Biaya Perkara
Yaitu
biaya yang harus dibayar oleh penggugat atau biaya sementara, agar gugatan
dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada
Pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses
pemeriksaan. Misalnya, biaya pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggap
penting baik atas permintaan salah satu pihak ataupun atas pertimbangan majelis
sesuai dengan kewenangan ex-officio yang dimilikinya.
Biaya
sementara beda dengan biaya akhir yang meliputi biaya yang timbul dalam semua
tingkat peradilan. Prinsipnya biaya akhir dibebankan kepada pihak yang kalah
perkara, sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR. Apabila penggugat
berada di pihak yang kalah, dengan sendirinya panjar itu diperhitungkan menjadi
biaya yang dipikulkan kepadanya. Apabila kurang, ia harus menambahnya, dan
apabila panjar itu lebih, sisanya dikembalikan kepadanya.
b.
Patokan
Menentukan Panjar Biaya
Pasal
121 ayat (4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan, meliputi komponen:
1)
Biaya kantor
kepaniteraan dan biaya materai;
2)
Biaya melakukan
panggilan saksi, ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah;
3)
Biaya
pemeriksaan setempat;
4)
Biaya juru sita
melakukan pemanggilan dan pemberitahuan;
5)
Biaya eksekusi.
Taksiran
yang paling penting diperhitungkan adalah biaya pemanggilan dan pemberitahuan
sehubungan dengan besarnya biaya transportasi juru sita ke tempat penggugat dan
tergugat. Semakin jauh tempat mereka, semakin besar biaya panggilan dan
pemberitahuan yang ditetapkan. Sewajarnya, biaya transportasi yang ditaksir,
bukan kendaraan yang paling mahal dan yang khusus tetapi biaya transportasi
yang berlaku bagi masyarakat umum.
c.
Dimungkinkan
Berperkara Tanpa Biaya (Prodeo)
Bab
ketujuh, bagian ketujuh HIR, mengatur tentang izin berperkara tanpa biaya (prodeo
atau kosteloos atau free of charge).
1)
Syarat
Berperkara Tanpa Biaya
Pasal
237 HIR menegaskan, bagi orang-orang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat
diberi izin untuk berperkara tanpa biaya. Titik tolak memberi kemungkinan
berperkara tanpa biaya, berdasarkan alasan kemanusiaan (humanity) dan
keadilan umum (general justice). Memberi hak dan kesempatan (opportunity)
kepada yang tidak mampu untuk tampil membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya
di depan sidang pengadilan secara cuma-cuma (free of charge. Akibat
hukum atas pemberian izin beperkara secara cuma-cuma, kepada yang bersangkutan:
·
tidak ditarik
biaya administrasi, dan
·
tidak ditarik
biaya upah juru sita.
2)
Cara Mengajukan
Permintaan Izin
a)
Pengajuan Oleh
Penggugat
Menurut
Pasal 238 ayat (1) HIR, jika yang mengajukan permintaan izin adalah penggugat:
·
diajukan pada
saat menyampaikan surat gugatan.
Permintaan
dapat langsung dimasukkan dalam surat gugatan atau dalam surat tersendiri;
·
dapat juga
diajukan dengan lisan berdasarkan Pasal 120 HIR.
b)
Pengajuan izin
oleh tergugat
Pasal
238 ayat (2) HIR, yang menyatakan permintaan izin diajukan tergugat pada saat mengajukan jawaban. Ketentuan pasal ini yaitu memberi
hak kepada tergugat untuk mengajukan permintaan izin beperkara tanpa biaya
selama tahap proses jawab-menjawab berlangsung. Tidak mesti diajukan pada
jawaban pertama, tetapi dapat juga diajukan pada duplik atau jawaban kedua (rejoinder).
3)
Syarat
Permintaan
Pasal
238 ayat (3) HIR , mengatur syarat permintaan izin.
·
Disertai surat
keterangan tidak mampu dari kepala polisi setempat.
Ketentuan
pasal ini pada saat sekarang, tidak tepat. Yang tepat, dari pemerintah
setempat. Bisa camat atau cukup kepala desa.
·
Isi surat
keterangan
Berisi
penjelasan bahwa berdasarkan pemeriksaan atau penelitian, pemohon benar-benar
orang tidak mampu.
4)
Proses
Pemberian Izin
Pasal
239 ayat (1) HIR, mengatur proses pemberian izin beperkara tanpa biaya.
·
Permintaan izin
diperiksa pada sidang pertama, sebelum majelis memeriksa perkaranya sendiri.
·
Diperiksa dan
diputus lebih dahulu apakah permintaan izin dikabulkan atau ditolak sebelum
perkara diperiksa.
·
Pihak lawan
dapat mengajukan perlawanan terhadap permintaan, berdasarkan alasan:
-
permintaan
tidak beralasan,
-
pemohon adalah
orang yang mampu.
5)
Putusan Izin Prodeo,
Tidak Bisa Dibanding
Menurut
Pasal 291 HIR, putusan izin beperkara tanpa biaya yang dijatuhkan PN,
merupakan:
·
putusan tingkat
pertama dan terakhir, sehingga putusan tersebut bersifat final, dan
·
terhadap
putusan tertutup upaya banding.
3.
Registrasi
Pasal
121 ayat (4) HIR menegaskan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara,
baru dapat dilakukan setelah penggugat membayar biaya perkara. Apabila biaya
perkara yang ditetapkan panggilan dibayar, penggugat berhak atas pendaftaran gugatan serta panitera wajib
mendaftarkan dalam buku register perkara.
a.
Pemberian
Nomor Perkara
Panitera
memberi nomor perkara atas gugatan, berdasarkan nomor urut yang tercantum dalam
buku register perkara.
b.
Panitera
Menyerahkan Perkara kepada Ketua PN
Segera
setelah panitera memberi nomor, perkara diserahkan atau dilimpahkan kepada
ketua PN.
·
Penyerahan
harus dilakukan secepat mungkin
Panitera
tidak boleh memperlambat penyerahan. Hal itu melanggar asas peradilan
sederhana, cepat, dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) No.14 Tahun
1970 (diubah dengan UU No.4 Tahun 2004. Atau memperlambat pelimpahan perkara
oleh panitera kepada Ketua PN tidak sesuai dengan prinsip justice delayed,
justice denied (peradilan yang lambat, mengingkari keadilan).
·
Dalam buku
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, MA menggariskan
pelimpahan perkara dari panitera kepada Ketua PN dilakukan paling lambat 7
(tujuh) hari dari tanggal registrasi.
4.
Penetapan
Majelis oleh Ketua PN
Apabila
ketua berhalangan, penetapan majelis dilakukan wakil ketua.
·
Jangka waktu
penetapan, secepat mungkin.
·
Jangka waktu
yang digariskan MA paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.
a.
Penyerahan
kepada Majelis
·
harus dilakukan
segera,
·
MA
menggariskan, paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal surat penetapan majelis.
b.
Majelis
Paling Sedikit 3 Orang
Pasal
15 UU No.14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 1999) dan
sekarang digariskan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 yang menentukan:
·
semua
pengadilan memeriksa dan memutus perkara, sekurang-kurangnya 3(tiga) orang
hakim kecuali apabila undang-undang menentukan lain,
·
seorang
bertindak sebagai Ketua majelis hakim (presiding judge), dan yang lain
sebagai anggota.
Namun
dalam angka 9 penjelasan umum UU No.14 Tahun 1970, dimungkinkan hakim tunggal,
berdasarkan faktor keadaan setempat, karena :
·
di daerah
terpencil,
·
tenaga hakim
kurang, dan
·
biaya
transportasi mahal.
Akan
tetapi, alasan ini pada saat sekarang selain tidak disebut dalam UU No.4 Tahun
2004 (sebagai pengganti UU No.14 Tahun 1970) juga tidak sesuai lagi Tentang
hakim sudah cukup memadai di seluruh daerah, serta semua wilayah sudah terjangkau
oleh prasarana lalu lintas yang dibutuhkan.
5.
Penetapan Hari
Sidang
Yang
menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi
perkara. Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan.
·
menurut Pasal
121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis
menerima berkas perkara;
·
menurut
penggarisan MA, paling lambat 7 hari
dari tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan
penetapan hari sidang;
·
berdasarkan
Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang dimasukkan atau dilampirkan dalam
berkas perkara, dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari berkas perkara yang
bersangkutan.
C.
TAHAP
PEMANGGILAN
Terdapat
berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini.
1.
Majelis
Memerintahkan Pemanggilan
Dalam
penetapan hari sidang, diikuti pencantuman perintah kepada panitera atau juru
sita untuk memanggil kedua belah pihak (penggugat atau tergugat), supaya hadir
di depan persidangan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal
121 ayat (1) HIR, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga menghadirkan saksi-saksi mereka.
2.
Yang
Melaksanakan Pemanggilan
Untuk
mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan
pemanggilan, merujuk kepada ketentuan Pasal 388, jo. Pasal 390 ayat (1) HIR,
dan Pasal 1 Rv:
·
dilakukan oleh
juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya;
·
jika orang yang
hendak dipanggil berada diluar yurisdiksi relative yang dimilikinya,
pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan
pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut,
Yurisdiksi
relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif PN tempatnya berfungsi.
Pemanggilan yang dilakukan juru sita di luar yurisdiksi relatif yang
dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas wewenang (exceeding
its power), dan berakibat:
·
pemanggilan
dianggap tidak sah (illegal), dan
·
atas alasan,
karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat juru sita yag tidak berwenang (unauthorized
bailiff).
Pasal
39 UU No.6 Tahun 1986, secara formil jabatan fungsional juru sita telah
merupakan salah satu subsistem dalam organisasi PN. Fungsi utamanya, membantu
panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.
3.
Bentuk
Panggilan
Pasal
390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan dilakukan dalam bentuk:
·
surat tertulis
(in writing), misalnya telegram dan surat tercatat,
·
lazim disebut
surat panggilan atau relas
panggilan maupun berita acara panggilan, dan
·
panggilan tidak
dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan
keabsahannya.
Pasal
27 PP No.9 Tahun 1975, mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau mass
media:
·
Apabila yang
dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, panggilan dilakukan melalui
pengumuman di salah satu atau beberapa surat kabar atau mass media.
·
Sekurang-kurangnya
dilakukan dua kali.
·
Tenggang waktu
antara pengumuman yang pertama dan kedua adalah satu bulan.
Pasal
27 PP ini, dimaksudkan untuk pemanggilan para pihak dalam perkara perceraian
saja, ketentuan ini dapat diterapkan secara analogis dalam perkara perdata
lainnya.
4.
Isi Surat
Panggilan Pertama kepada Tergugat
Pasal
121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv,
menjelaskan surat panggilan pertama berisi:
·
nama yang
dipanggil,
·
hari dan jam
serta tempat sidang,
·
membawa
saksi-saksi yang diperlukan,
·
membawa segala
surat-surat yang hendak digunakan, dan
·
penegasan,
dapat menjawab gugatan dengan surat.
Isi
surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatifnya adalah
imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai
mencantumkannya, mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak
sah.
Selain
itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1
Rv mewajibkan juru sita untuk:
·
melampiri surat
panggilan dengan salinan surat gugatan, dan
·
salinan
tersebut, dianggap gugatan asli.
5.
Cara Panggilan
yang Sah
Pasal
390 ayat (1) dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv Tentang tata
cara pemanggilan menurut hukum:
a.
Tempat Tinggal
Tergugat Diketahui
Tata
cara pemanggilan yang sah, ialah:
1.
Harus
disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili atau tempat domisili pilihan
tergugat (Pasal 390 ayat (1), Pasal 1 Rv).
2.
Disampaikan
kepada yang bersangkutan, diperluas oleh Pasal 3 Rv meliputi keluarganya.
3.
Disampaikan
kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru
sita di tempat tinggal atau kediaman.
b.
Tempat
Tinggal Tergugat Tidak Diketahui
Pasal
390 ayat (3) HIR( tata cara pemanggilan yang sah yang disebut dengan
pemanggilan umum atau pemberitahuan umum / general convocation ) dan
Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tentang tata cara penyampaian panggilan kepada
tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Adapun tata caranya, yaitu:
1.
Surat panggilan
(surat juru sita) disampaikan kepada
bupati atau wali kota, sesuai dengan yurisdiksi
atau kompetensi relatif yang dimilikinya.
2.
Bupati atau wali
kota tersebut:
·
mengumumkan
atau memaklumkan surat juru sita itu;
·
caranya, dengan
jalan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan PN yang bersangkutan.
Agar
cara pemanggilan bentuk ini lebih objektif dan realistis, perlu PN memedomani
ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan:
·
selain
penempelan di pintu ruang sidang,
·
pengumuman
pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang
terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum PN
yang bersangkutan.
6.
Pemanggilan
Tergugat yang Berada di Luar Negeri
Pasal
6 ke-8 diatur tentang pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di
luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia dengan cara :
·
panggilan
disampaikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif
yang dimilikinya.
·
selanjutnya,
JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya, dan
·
mengirimkan
turunannya kepada pemerintah (barangkali Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan
kepada yang bersangkutan.
a.
Tempat
Tinggalnya di Luar Negeri Diketahui
·
Panggilan disampaikan
melalui jalur diplomatik
·
Penyampaiannya kepada Departemen Luar Negeri (Deplu),
kedutaan, atau konsultat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan JPU.
b.
Tempat TinggalnyaTidak
Diketahui
Tata
cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6
ke-7 Rv, Yaitu disampaikan melalui panggilan umum.
7.
Pemanggilan
terhadap yang Meninggal
Menurut
Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, yaitu :
a.
Apabila Ahli
Waris Dikenal
·
Panggilan
ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat
tinggal mereka satu per satu. Dalam hal ini cukup disebut nama dan tempat
tinggal pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal
almarhum (pewaris) yang terakhir.
b.
Apabila Ahli
Waris Tidak Dikenal
·
Panggilan
disampaikan kepada kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum.
·
Selanjutnya,
kepala desa segera menyampaikan panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum.
·
Jika kepala
desa tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan
kepada juru sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan
tidak dikenal. Atas dasar penjelasan kepala desa itu, juru sita dapat menempuh tata cara melalui
panggilan umum.
8.
Jarak Waktu
antara Pemanggilan dengan Hari Sidang
Pasal
122 HIR dan Pasal 10 Rv, mengatur jarak waktu antara panggilan dengan hari sidang.
a.
Patokan
Menentukan Jarak Waktu, Berdasarkan Faktor Jarak Antara Tempat tinggal Tergugat
dengan Gedung Tempat Sidang Dilangsungkan.
1.
8 (delapan)
hari, apabila jarak tempat tinggal tergugat dengan gedung PN (tempat sidang)
tidak jauh,
2.
14 (empat
belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan
3.
20 (dua puluh)
hari, jika jaraknya jauh.
b.
Jarak Waktu
Panggilan dalam Keadaan Mendesak
Menurut
Pasal 122 HIR, adapun aturannya,yaitu:
·
jarak waktunya
dapat dipersingkat,
·
batas
mempersingkat tidak boleh kurang dari 3
(tiga) hari.
c.
Jarak Waktu
Pemanggilan Orang yang Berada di Luar Negeri
·
Prinsipnya,
didasarkan pada perkiraan yang wajar,
·
Faktor yang
perlu diperhatikan:
1.
Jarak Negara tempat tinggal tergugat dengan
Indonesia pada satu segi serta jarak tempat tinggal tergugat dengan Konsulat
Jenderal RI, dan
2.
Faktor
birokrasi yang harus ditempuh dalam penyampaian panggilan.
d.
Penentuan Jarak
Waktu, Apabila Tergugat Terdiri atas Beberapa Orang
Pasal
14 Rv, tidak boleh berpatokan kepada tempat tinggal tergugat yang paling dekat.
Namun, harus didasarkan kepada tempat tinggal tergugat yang paling jauh.
9.
Pendelegasian
Pemanggilan
Yaitu
tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita pada PN yang
lain. Dalam Rv Pasal 5 diatur, yaitu:
·
Orang yang
hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum juru sita.
·
Pemanggilan
dilaksanakan oleh juru sita PN yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal orang
yang hendak dipanggil.
·
Ketua PN
bersangkutan meminta bantuan kepada Ketua PN yang membawahi wilayah hukum
tempat tinggal tergugat, untuk memerintahkan juru sita PN tersebut menyampaikan
panggilan.
·
Ketua PN yang
diminta bantuan, mengeluarkan perintah pemanggilan kepada juru sita berdasarkan
permintaan bantuan dimaksud.
·
Segera setelah
itu, menyampaikan langsung kepada Ketua PN yang melimpahkan, tentang
pelaksanaan panggilan yang dilakukan.
10.
Larangan
Melakukan Pemanggilan
·
Panggilan atau
pemberitahuan tidak boleh disampaikan, sebelum jam 6 pagi.
·
Tidak boleh
disampaikan, sesudah jam 6 sore, dan
·
Tidak boleh
disampaikan, hari Minggu.
Pengecualian
terhadap larangan ini, hanya dapat dilakukan apabila:
-
ada izin dari
Ketua PN,
-
izin diberikan
atas permintaan penggugat,
-
izin diberikan
dalam keadaan mendesak, dan
-
izin
dicantumkan pada kepala surat
panggilan/pemberitahuan..
11.
Tata Cara
Pemanggilan Ditegakkan Asas Lex Fori
Asas
Lex Fori yaitu prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan
hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan
memutusperkara.
Prof.
Asikin Kusuma Atmadja berpendapat “karena cara mengajukan perkara dan cara
pemanggilan kedua belah pihak yang
berperkara adalah sangat bersifat acara maka dari ituharus tunduk pula kepada
peraturan hukum dari Negara hakim sendiri, in casu berlakulah hukum
acara perdata yang diatur dalam HIR.”
12.
Otentikasi
Surat Panggilan
a.
Ditandatangani
oleh Juru Sita
b.
Berisi
Keterangan yang Ditulis Tangan Juru Sita
yang Menjelaskan Panggilan Telah Disampaikan Di Tempat Tinggal Yang
Bersangkutan Secara In Person Atau Kepada Keluarga Atau Kepada Kepala
Desa.
13.
Panggilan
Batal, Juru Sita dapat Dihukum
Menurut
Pasal 21 Rv:
·
Jika surat
panggilan dinyatakan batal;
·
Hal itu terjadi
disebabkan perbuatan juru sita: Dilakukan dengan sengaja (intentional) dan
karena kelalaian (omission).
·
Dalam hal itu,
juru sita dapat dihukum:
-
Untuk mengganti
biaya panggilan dan acara biaya yang batal;
-
Untuk membayar
ganti rugi atas segala kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan atas
kebatalan itu berdasarkan PMH (perbuatan melawan hokum yang digariskan Pasal
1365 KUH Perdata).
BAB 7
PUTUSAN AKTA PERDAMAIAN DALAM RANGKA SISTEM MEDIASI
A.
SULIT MENDESAIN
SISTEM PERADILAN YANG EFEKTIF
Mendesain
sistem peradilan menuju yang efektif dan efisien tidaklah gampang. Terlampau
banyak aspek yang saling bertabrakan. Dan terlampau beragam kepentingan yang
harus dilindungi. Sedang pada sisi lain kepentingan itu saling bertentangan
antara yang satu dengan yang lain. Pada
satu sisi, harus dibuat sistem yang mampu melindungi kepentingan
penggugat. Di sisi lain, harus pula
diberi perlindungan kepada tergugat yang mengalami kekalahan untuk mengajukan
upaya banding dan kasasi.
Sebenarnya
berbagai sistem yang lebih efektif, banyak diajukan pada masa belakangan ini,
antara lain dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:
1.
Mengintegrasikan
Sistem Manajemen dalam Peradilan
Sistem
ini diajukan oleh suatu panitia yang diketuai Lord Hoilsham. Sistem ini
mencoba menggabung dan mengintegrasikan manajemen ke dalam sistem peradilan
dengan pokok-pokok pikiran :
a.
One Court Entry
System
b.
Full Pre-trial
Disclosure
c.
Timetable
Program
d.
Extra Hour’s
Sitting Per Day
e.
In Court
Arbitration System
2.
Pembatasan
Perkara yang Dapat Dikasasi
a.
Struktur
Peradilan Tetap
·
Peradilan
tingkat pertama oleh PN,
·
Tingkat banding
oleh PT,
·
Dan kasasi oleh
MA.
b.
Jenis Perkara
Diklasifikasi berdasarkan Kualitas
·
Jenis perkara
biasa,
·
Jenis perkara
kecil (small claim)
Untuk
menentukan apakah suatu perkara digolongkan
perkara kecil, yaitu:
·
Didasarkan pada
nilai gugatan,
·
Ditentukan
batas minimal ke bawah, misalnya Rp50.000.000,00 ke bawah,
·
Dengan
demikian, perkara Rp50.000.000,00 ke bawah, dikategorikan perkara kecil (small
claim),
·
Terhadap
perkara biasa, terbuka upaya banding dan
kasasi, tetapi terhadap perkara kecil, tertutup upaya kasasi.
Sistem
ini, bertujuan mencapai berbagai sasaran efektifitas dan efisiensi :
a.
Memperpendek
atau mengurangi upaya hukum terhadap perkara kecil,
b.
Menghindari
penumpukan (backlog) perkara pada tingkat kasasi.
3.
Sistem
Penggabungan Pengadilan dengan Arbitrase
a.
Mekanisme
Prosesnya
Setiap
perkara yang duajukan ke pengadilan :
·
Tidak langsung
diperiksa melalui proses litigasi,
·
Tetapi lebih
dahulu diperiksa dan diselesaikan melalui proses arbitrase,
·
Yang bertindak
sebagai arbiter, salah seorang hakim bertugas di PN yang bersangkutan,
·
Penyelesaian
melalui arbitrase bersifat memaksa (compulsory):
-
Mau tidak mau
para pihak yang berperkara mesti taat mengikuti proses penyelesaian melalui
arbitrase,
-
Itu sebabnya
disebut juga compulsory arbitration system,
-
Oleh karena
itu, hakim yang ditunjuk sebagai arbiter, mesti mengambil dan menjatuhkan
putusan dalam bentuk putusan arbitrase.
b.
Daya Kekuatan
Mengikat Putusan (court connected arbitration)
1.
Bila disetujui
para Pihak, Final and Binding
-
Putusan
alngsung final and binding,
-
Tertutup upaya
banding,
-
Serta langsung
memiliki kekuatan eksekutorial.
2.
Bila tidak
disetujui para Pihak
-
Putusan yang dijatuhkan
dengan sendirinya batal demi hukum (null and void), dan putusan dianggap
tidak pernah ada (never existed)
-
Dengan
demikian, perkara mentah kembali, dan untuk seterusnya diperiksa melalui proses
litigasi.
Putusan yang dijatuhkan arbiter dalam system ini disebut:
·
Pre-trial
settlement, (putusan praperadilan), atau
·
Mandatory and
nonbinding
4.Kritik Mendunia terhadap Peradilan
a.
Penyelesaian Sengketa Lambat
·
Penyelesaian
sangat lambat atau buang waktu (waste of time),
·
Hal itu terjadi
sebagai akibat system pemeriksaannya:
-
Sangat
formalistis (very formalistic),
-
Juga sangat
tehnik (very technical).
Sebagai
gambaran bagaimana lambatnya penyelesaian perkara mulai dari tingkat pertama
sampai kasasi, sering dikemukakan data berikut:
·
Amerika
Serikat, 5-10 tahun,
·
Jepang, 5-12
tahun,
·
Korea Selatan,
5-7 tahun, dan
·
Indonesia,
rata-rata 5-12 tahun.
b.
Biaya
Perkara Mahal
Biaya perkara mahal, dan biaya itu semakin mahal sehubungan dengan
lamanya waktu penyelesaian. Semakin lama proses penyelesaian, semakin biaya yang
akan dikeluarkan.
c.
Peradilan Tidak
Tanggap(Unresponsible)
I.
Tidak tanggap
membela dan melindungi kepentingan umum (public interest)
II.
Pengadilan
sering berlaku tidka adil atau unfair
d.
Putusan
Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah
Putusan
pengadilan tidak menyelesaikan masalah, tetapi sebaliknya menimbulkan masalah.
Beperkara di pengadilan menimbulkan benih kebencian dan dendam bertahun-tahun.
e.
Putusan
Pengadilan Membingungkan atau erratic
·
Terkadang,
tanpa alasan yang kuat dan masuk akal, pengadilan mengabulkan ganti rugi yang
luar biasa jumlahnya,
·
Sebaliknya,
meskipun dasar alasan hukum dan buktinya kuat, tuntutan ganti rugi ditolak atau
yang dikabulkan dalam jumlah sangat kecil sehingga tidak masuk akal sehat.
f.
Putusan
Pengadilan Tidak Memberi Kepastian Hukum
·
Harus diberi
perlakuan penerapan hukum yang sama, sehingga dapat dibina legal certaintly dan
penegakan hukum yang predictable,
·
Tetapi yang
terjadi, penerapan yang berdisparitas
dan fluktuatif dalam kasus yang sama, sehingga terjadi pelanggaran:
-
Asas
diskriminasi,
-
Asas equal
treatment, and
-
Asas equality
before the law.
g.
Kemampuan Para
Hakim Bercorak Generalis
Kualitas
dan kemampuan profesionalisme hakim pada bidang tertentu sangat minim. Para
hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam sengketa
yang menyangkut bidang perbankan atau pasar modal. Mungkin juga tidak memahami
sama sekali masalah asuaransi, perkapalan dan perdagangan internasional, dan
sebagainya.
B.
PENYELESAIAN
MELALUI PERDAMAIAN
Penyelesaian
sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR) , dalam berbagai bentuk, seperti:
·
Mediasi (mediation)
melalui system kompromi (compromise) diantara para pihak, sedang pihak
ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong(helper)
dan fasilitator.
·
Konsiliasi (conciliation)
melalui konsiliator (conciliator):
-
Pihak ketiga
yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian,
-
Tetapi
keputusan tetap di tangan para pihak.
·
Expert
determination
Menunjuk
seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan. Oleh karena itu, keputusan
yang diambilnya mengikat kepada para pihak.
·
Mini trial
Para
pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak:
-
Memberi opini
kepada kedua belah pihak,
-
Opini diberikan
advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak,
-
Opini berisi
kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak, serta member pendapat bagaimana
cara penyelesaian yang harus ditempuh para pihak.
1.
Penyelesaian
Melalui Perdamaian Mengandung Berbagai Keuntungan
a.
Penyelesaian
bersifat informal
b.
Yang
menyelesaikan segketa para pihak sendiri
c.
Jangka waktu
penyelesaian pendek
d.
Biaya ringan
e.
Aturan
pembuktian tidak perlu
f.
Proses
penyelesaian bersifat konfidensial
g.
Hubungan para
pihak bersifat kooperatif
h.
Komunikasi dan
fokus penyelesaian
i.
Hasil yang
dituju sama menang
j.
Bebas emosi dan
dendam
2.
Hukum Acara
Menghendaki perdamaian
Pasal
130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa
melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1)
HIR berbunyi:
Jika
pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak dating, maka pengadilan negeri
dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.
Selanjutnya,
ayat (2) mengatakan:
Jika
perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu yang bersidang,
diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum
akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
Sistem
yang diatur dalam hokum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada
PN, hampir sama dengan court connected arbitration system:
·
Pertama-tama,
hakim membantu atau menolong para pihak yang beperkara untuk menyelesaikan
sengketa dengan perdamaian,
·
Selanjutnya,
apabila tercapai kesepakatan diantara penggugat dan tergugat:
a.
Kesepakatan itu
dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditandatangani para pihak,
b.
Terhadap
perjanjian perdamaian, dibuat akta berupa putusan yang dijatuhkan pengadilan
yang mencantumkan amar, menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian.
3.
Upaya
Mendamaikan Bersifat Imperatif
Pasal
131 ayat (1) HIR, mengatakan:
Jika
hakim tidak dapat mendamaikan para pihak. Maka, hal itu mesti disebut dalam
berita acara sidang.
Kelalaian
menyebutkan hal itu dalam acara mengakibatkan pemeriksaan perkara: mengandung
cacat formil dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum.
Mendamaikan
bersifat imperative. Tidak boleh diabaikan dan dilalaikan. Proses pemeriksaan
yang tidak menempuh dan tidak dimulai dengan tahap mendamaikan, batal menurut
hukum.
a.
Secara Ekstrim
pemeriksaan yang mengabaikan tahap mendamaikan, tidak sah,
b.
Pencantuman
upaya mendamaikan dalam putusan
C.
PROSEDUR
MEDIASI DI PENGADILAN
1.
Landasan
Formil Prosedur Mediasi
a.
Semula Diatur
dalam SEMA No.1 Tahun 2002
b.
Disempurnakan
dalam PERMA No.2 Tahun 2003
c.
Alasan
Penerbitan PERMA
·
Mengatasi
penumpukan perkara
·
SEMA No.1 Tahun
2002, belum lengkap
·
Pasal 130 HIR,
Pasal 154 Rbg, dianggap tidak memadai
2.
Lingkup
Integrasi Mediasi dalam Sistem Peradilan
a.
Institusionalisasi
Proses Mediasi dalam Proses Peradilan
·
Mampu mendorong
para pihak merundingkan penyelesaian perkara yang lebih efektif melalui
perdamaian.
·
Dengan
demikian, dalam upaya mewujudkan penyelesaian perkara melalui perdamaian, tidak
lagi bertumpu pada Pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg, tetapi sekaligus berpedoman
pada proses mediasi yang bersifat memaksa (compulsary)
b.
Pengertian
Mediasi
Pasal
1 butir 6 :
·
Proses
penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak yang
beperkara
·
Perundingan
yang dilakukan para pihak, dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berpihak
:
1.
Sebagai pihak
ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial) , dan
2.
Berfungsi
sebagai pambantu atau penolong (helper) mencari berbagai kemungkinan
atau alternative penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan
kepada para pihak.
c.
Yang
Dapat Bertindak sebagai Mediator
Pasal
6 ayat 1, mediator dalam lingkungan peradilan:
1.
Berasal dari
kalangan hakim
2.
Boleh juga yang
bukan hakim
3.
Syaratnya telah
memiliki sertifikat sebagai mediator
d.
Lingkup
Yurisdiksi
Yaitu
batas-batas kewenangan berlakunya proses integrasi mediasi dalam system
peradilan.
1.
Yurisdiksi
instansional
2.
Yurisdiksi substantif
e.
Proses
Mediasi Bersifat Memaksa
f.
Jangka
Waktu Proses Mediasi
3.
Ruang LingkupTahap
Pramediasi
a.
Hakim
Memerintahkan Menempuh Mediasi
b.
Hakim Wajib
Menunda Persidangan
c.
Hakim Wajib
Memberi Penjelasan tentang Prosedur dan Biaya Mediasi
d.
Wajib Memilih
Mediator
e.
Proses Mediasi
oleh Mediator Lain
4.
Ruang Lingkup
Tahap Mediasi
a.
Para Pihak Wajib
Menyerahkan Fotokopi Dokumen
b.
Kewajiban dan
Peran Mediator
c.
Sistem Proses
Mediasi
d.
Mediasi
Menghasilkan Kesepakatan
e.
Proses Mediasi
Gagal
5.
Nilai Kekuatan
Pembuktian Pernyataan Pengakuan dalam Proses Mediasi
a.
Tidak Dapat
Dijadikan Sebagai Alat Bukti
b.
Segala Dokumen
Wajib Dimusnahkan
c.
Mediator
Dilarang Menjadi Saksi
6.
Tempat dan
Biaya Mediasi
a.
Tempat
Penyelenggaraan Mediasi
b.
Biaya
Penyelenggaraan Mediasi
D.
KRITERIA DASAR
UNTUK MENDAMAIKAN
Criteria
dasar untuk mendamaikan:
1.
Memperbaiki
Hubungan Pihak yang Bersengketa
2.
Menghasilkan
Kesepakan= Kompromi
3.
Kesepakatan
Mampu Menyelesaikan Kepentingan yang Bertentangan
4.
Menyelesaikan
Tindakan dan Kepentingan
Hindari memperdebatkan dan menonjolkan posisi para pihak:
1.
Hindari
penonjolan : Bargaining Position dan Bargaining Power.
2.
Memperdebatkan
posisi, mempertajam kehendak mau menang sendiri.
3.
Menonjolkan
posisi melahirkan sikap pantang mundur dan menyerah.
E.
SYARAT FORMIL
PUTUSAN PERDAMAIAN
1.
Persetujuan
Perdamaian Mengakhiri Perkara
2.
Persetujuan
Perdamaian Berbentuk Tertulis
3.
Pihak yang Membuat
Persetujuan Perdamaian adalah orang yang Mempunyai Kekuasaan
4.
Seluruh Pihak
yang Terlibat dalam Perkara Ikut dalam Persetujuan Perdamaian.
F.
PUTUSAN
PERDAMAIAN YANG BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DAPAT DIBATALKAN
1.
Pasal 1859 ayat
(1) KUH Perdata
2.
Pasal 1859 ayat
(2) KUH Perdata
3.
Pasal 1860 KUH
Perdata
4.
Pasal 1861 KUH
Perdata
5.
Pasal 1862 KUH
Perdata
G.
KEKUATAN HUKUM
YANG MELEKAT PADA PENETAPAN AKTA PERDAMAIAN
1.
Disamakan
Kekuatannya dengan Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap
2.
Mempunyai
Kekuatan Eksekutorial
3.
Putusan Akta
Perdamaian Tidak Dapat Dibanding.
No comments:
Post a Comment