Followers

Monday, 21 September 2015

Hukum Perdata tentang Tatacara Panggilan dan Proses yang Mendahuluinya



RESUME HUKUM ACARA PERDATA
(HUKUM ACARA PERDATA, M.YAHYA HARAHAP)
By Siti Sumaiyah
VI B / AS
BAB 6
TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA
A.    PENGERTIAN PANGGILAN (CONVODATION, CONVOCATIE)
Ø  Dalam Arti Sempit
Perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan.
Ø  Dalam Arti Luas
Menurut Hukum acara Perdata yaitu menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.
Menurut Pasal 388 HIR yaitu :
·         panggilan sidang pertama kepada penggugat dan tergugat;
·         panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
·         panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal ini mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting ke persidangan);
·         selain daripada itu, panggilan dalam arti luas, meliputi juga tindakan hukum pemberitahuan atau aanzegging (notification), antara lain:
o   pemberitahuan putusan PT dan MA,
o   pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding,
o   pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding , dan
o   pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi.
Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.
Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya panggilan dari juru sita yang dianggap sah dan resmi. Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan.
B.       TAHAP DAN TINDAKAN YANG MENDAHULUI PEMANGGILAN
Berdasarkan Pasal 118 ayat(1) dan Pasal 121 ayat (4), panggilan merupakan tindakan lanjutan dari tahap berikut ini:
1.      Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri (PN)
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN berdasarkan kompetensi relatif:
·         dalam bentuk surat gugatan (in writing),
·         ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, dan
·         dialamatkan kepada ketua PN.
2.      Pembayaran Biaya Perkara
Pasal 121 ayat (4) HIR menyatakan dengan tegas pembayaran biaya perkara disebut juga panjar perkara dan merupakan syarat imperatif (imperative requirement) atau syarat memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi.
Konsekuensi atas pasal ini, yaitu:
·         gugatan tidak didaftar dalam buku register perkara,
·         perkara atas gugatan itu, dianggap tidak ada (never existed), dan
·         gugatan tidak bisa di proses dalam persidangan pengadilan.
a.      Yang Dimaksud Biaya Perkara
Yaitu biaya yang harus dibayar oleh penggugat atau biaya sementara, agar gugatan dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada Pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses pemeriksaan. Misalnya, biaya pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggap penting baik atas permintaan salah satu pihak ataupun atas pertimbangan majelis sesuai dengan kewenangan ex-officio yang dimilikinya.
Biaya sementara beda dengan biaya akhir yang meliputi biaya yang timbul dalam semua tingkat peradilan. Prinsipnya biaya akhir dibebankan kepada pihak yang kalah perkara, sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR. Apabila penggugat berada di pihak yang kalah, dengan sendirinya panjar itu diperhitungkan menjadi biaya yang dipikulkan kepadanya. Apabila kurang, ia harus menambahnya, dan apabila panjar itu lebih, sisanya dikembalikan kepadanya.
b.      Patokan Menentukan Panjar Biaya
Pasal 121 ayat (4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan, meliputi komponen:
1)      Biaya kantor kepaniteraan dan biaya materai;
2)      Biaya melakukan panggilan saksi, ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah;
3)      Biaya pemeriksaan setempat;
4)      Biaya juru sita melakukan pemanggilan dan pemberitahuan;
5)      Biaya eksekusi.
Taksiran yang paling penting diperhitungkan adalah biaya pemanggilan dan pemberitahuan sehubungan dengan besarnya biaya transportasi juru sita ke tempat penggugat dan tergugat. Semakin jauh tempat mereka, semakin besar biaya panggilan dan pemberitahuan yang ditetapkan. Sewajarnya, biaya transportasi yang ditaksir, bukan kendaraan yang paling mahal dan yang khusus tetapi biaya transportasi yang berlaku bagi masyarakat umum.
c.       Dimungkinkan Berperkara Tanpa Biaya (Prodeo)
Bab ketujuh, bagian ketujuh HIR, mengatur tentang izin berperkara tanpa biaya (prodeo atau kosteloos atau free of charge).
1)      Syarat Berperkara Tanpa Biaya
Pasal 237 HIR menegaskan, bagi orang-orang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberi izin untuk berperkara tanpa biaya. Titik tolak memberi kemungkinan berperkara tanpa biaya, berdasarkan alasan kemanusiaan (humanity) dan keadilan umum (general justice). Memberi hak dan kesempatan (opportunity) kepada yang tidak mampu untuk tampil membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya di depan sidang pengadilan secara cuma-cuma (free of charge. Akibat hukum atas pemberian izin beperkara secara cuma-cuma, kepada yang bersangkutan:
·         tidak ditarik biaya administrasi, dan
·         tidak ditarik biaya upah juru sita.
2)      Cara Mengajukan Permintaan Izin
a)      Pengajuan Oleh Penggugat
Menurut Pasal 238 ayat (1) HIR, jika yang mengajukan permintaan izin adalah penggugat:
·         diajukan pada saat menyampaikan surat gugatan.
Permintaan dapat langsung dimasukkan dalam surat gugatan atau dalam surat tersendiri;
·         dapat juga diajukan dengan lisan berdasarkan Pasal 120 HIR.
b)      Pengajuan izin oleh tergugat
Pasal 238 ayat (2) HIR, yang menyatakan permintaan izin diajukan tergugat pada saat mengajukan  jawaban. Ketentuan pasal ini yaitu memberi hak kepada tergugat untuk mengajukan permintaan izin beperkara tanpa biaya selama tahap proses jawab-menjawab berlangsung. Tidak mesti diajukan pada jawaban pertama, tetapi dapat juga diajukan pada duplik atau jawaban kedua (rejoinder).
3)      Syarat Permintaan
Pasal 238 ayat (3) HIR , mengatur syarat permintaan izin.
·         Disertai surat keterangan tidak mampu dari kepala polisi setempat.
Ketentuan pasal ini pada saat sekarang, tidak tepat. Yang tepat, dari pemerintah setempat. Bisa camat atau cukup kepala desa.
·         Isi surat keterangan
Berisi penjelasan bahwa berdasarkan pemeriksaan atau penelitian, pemohon benar-benar orang tidak mampu.
4)      Proses Pemberian Izin
Pasal 239 ayat (1) HIR, mengatur proses pemberian izin beperkara tanpa  biaya.
·         Permintaan izin diperiksa pada sidang pertama, sebelum majelis memeriksa perkaranya sendiri.
·         Diperiksa dan diputus lebih dahulu apakah permintaan izin dikabulkan atau ditolak sebelum perkara diperiksa.
·         Pihak lawan dapat mengajukan perlawanan terhadap permintaan, berdasarkan alasan:
-        permintaan tidak beralasan,
-        pemohon adalah orang yang mampu.
5)      Putusan Izin Prodeo, Tidak Bisa Dibanding
Menurut Pasal 291 HIR, putusan izin beperkara tanpa biaya yang dijatuhkan PN, merupakan:
·         putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga putusan tersebut bersifat final, dan
·         terhadap putusan tertutup upaya banding.
3.      Registrasi
Pasal 121 ayat (4) HIR menegaskan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara, baru dapat dilakukan setelah penggugat membayar biaya perkara. Apabila biaya perkara yang ditetapkan panggilan dibayar, penggugat berhak  atas pendaftaran gugatan serta panitera wajib mendaftarkan dalam buku register perkara.
a.      Pemberian Nomor Perkara
Panitera memberi nomor perkara atas gugatan, berdasarkan nomor urut yang tercantum dalam buku register perkara.
b.      Panitera Menyerahkan Perkara kepada Ketua PN
Segera setelah panitera memberi nomor, perkara diserahkan atau dilimpahkan kepada ketua PN.
·         Penyerahan harus dilakukan secepat mungkin
Panitera tidak boleh memperlambat penyerahan. Hal itu melanggar asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) No.14 Tahun 1970 (diubah dengan UU No.4 Tahun 2004. Atau memperlambat pelimpahan perkara oleh panitera kepada Ketua PN tidak sesuai dengan prinsip justice delayed, justice denied (peradilan yang lambat, mengingkari keadilan).
·         Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, MA menggariskan pelimpahan perkara dari panitera kepada Ketua PN dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal registrasi.
4.      Penetapan Majelis oleh Ketua PN
Apabila ketua berhalangan, penetapan majelis dilakukan wakil ketua.
·         Jangka waktu penetapan, secepat mungkin.
·         Jangka waktu yang digariskan MA paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.
a.      Penyerahan kepada Majelis
·         harus dilakukan segera,
·         MA menggariskan, paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal surat penetapan majelis.
b.      Majelis Paling Sedikit 3 Orang
Pasal 15 UU No.14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 1999) dan sekarang digariskan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 yang menentukan:
·         semua pengadilan memeriksa dan memutus perkara, sekurang-kurangnya 3(tiga) orang hakim kecuali apabila undang-undang menentukan lain,
·         seorang bertindak sebagai Ketua majelis hakim (presiding judge), dan yang lain sebagai anggota.
Namun dalam angka 9 penjelasan umum UU No.14 Tahun 1970, dimungkinkan hakim tunggal, berdasarkan faktor keadaan setempat, karena :
·         di daerah terpencil,
·         tenaga hakim kurang, dan
·         biaya transportasi mahal.
Akan tetapi, alasan ini pada saat sekarang selain tidak disebut dalam UU No.4 Tahun 2004 (sebagai pengganti UU No.14 Tahun 1970) juga tidak sesuai lagi Tentang hakim sudah cukup memadai di seluruh daerah, serta semua wilayah sudah terjangkau oleh prasarana lalu lintas yang dibutuhkan.
5.      Penetapan Hari Sidang
Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi perkara. Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan.
·         menurut Pasal 121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis menerima berkas perkara;
·         menurut penggarisan MA, paling lambat 7 hari  dari tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan penetapan hari sidang;
·         berdasarkan Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang dimasukkan atau dilampirkan dalam berkas perkara, dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari berkas perkara yang bersangkutan.
C.    TAHAP PEMANGGILAN
Terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini.
1.      Majelis Memerintahkan Pemanggilan
Dalam penetapan hari sidang, diikuti pencantuman perintah kepada panitera atau juru sita untuk memanggil kedua belah pihak (penggugat atau tergugat), supaya hadir di depan persidangan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga  menghadirkan saksi-saksi mereka.
2.      Yang Melaksanakan Pemanggilan
Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada ketentuan Pasal 388, jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv:
·         dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya;
·         jika orang yang hendak dipanggil berada diluar yurisdiksi relative yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut,
Yurisdiksi relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif PN tempatnya berfungsi. Pemanggilan yang dilakukan juru sita di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas wewenang (exceeding its power), dan berakibat:
·         pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
·         atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat juru sita yag tidak berwenang (unauthorized bailiff).
Pasal 39 UU No.6 Tahun 1986, secara formil jabatan fungsional juru sita telah merupakan salah satu subsistem dalam organisasi PN. Fungsi utamanya, membantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.
3.      Bentuk Panggilan
Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan dilakukan dalam bentuk:
·         surat tertulis (in writing), misalnya telegram dan surat tercatat,
·         lazim disebut surat panggilan atau relas  panggilan maupun berita acara panggilan, dan
·         panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya.
Pasal 27 PP No.9 Tahun 1975, mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau mass media:
·         Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, panggilan dilakukan melalui pengumuman di salah satu atau beberapa surat kabar atau mass media.
·         Sekurang-kurangnya dilakukan dua kali.
·         Tenggang waktu antara pengumuman yang pertama dan kedua adalah satu bulan.
Pasal 27 PP ini, dimaksudkan untuk pemanggilan para pihak dalam perkara perceraian saja, ketentuan ini dapat diterapkan secara analogis dalam perkara perdata lainnya.
4.      Isi Surat Panggilan Pertama kepada Tergugat
Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv,   menjelaskan surat panggilan pertama berisi:
·         nama yang dipanggil,
·         hari dan jam serta tempat sidang,
·         membawa saksi-saksi yang diperlukan,
·         membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
·         penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.
Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya, mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak sah.
Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk:
·         melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan, dan
·         salinan tersebut, dianggap gugatan asli.
5.      Cara Panggilan yang Sah
Pasal 390 ayat (1) dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv Tentang tata cara pemanggilan menurut hukum:
a.      Tempat Tinggal Tergugat Diketahui
Tata cara pemanggilan yang sah, ialah:
1.      Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili atau tempat domisili pilihan tergugat (Pasal 390 ayat (1), Pasal 1 Rv).
2.      Disampaikan kepada yang bersangkutan, diperluas oleh Pasal 3 Rv meliputi keluarganya.
3.      Disampaikan kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau kediaman.
b.      Tempat Tinggal  Tergugat Tidak Diketahui
Pasal 390 ayat (3) HIR( tata cara pemanggilan yang sah yang disebut dengan pemanggilan umum atau pemberitahuan umum / general convocation ) dan Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tentang tata cara penyampaian panggilan kepada tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Adapun tata caranya, yaitu:
1.      Surat panggilan (surat juru sita) disampaikan  kepada bupati atau wali kota, sesuai  dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya.
2.      Bupati atau wali kota tersebut:
·         mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu;
·         caranya, dengan jalan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan PN yang bersangkutan.
Agar cara pemanggilan bentuk ini lebih objektif dan realistis, perlu PN memedomani ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan:
·         selain penempelan di pintu ruang sidang,
·         pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum PN yang bersangkutan.
6.      Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri
Pasal 6 ke-8 diatur tentang pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia dengan cara :
·         panggilan disampaikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya.
·         selanjutnya, JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya, dan
·         mengirimkan turunannya kepada pemerintah (barangkali Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
a.      Tempat Tinggalnya di Luar Negeri Diketahui
·         Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik
·         Penyampaiannya  kepada Departemen Luar Negeri (Deplu), kedutaan, atau konsultat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan JPU.
b.      Tempat TinggalnyaTidak Diketahui
Tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, Yaitu disampaikan melalui panggilan umum.
7.      Pemanggilan terhadap yang Meninggal
Menurut Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, yaitu :
a.      Apabila Ahli Waris Dikenal
·         Panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu per satu. Dalam hal ini cukup disebut nama dan tempat tinggal pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum (pewaris) yang terakhir.
b.      Apabila Ahli Waris Tidak Dikenal
·         Panggilan disampaikan kepada kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum.
·         Selanjutnya, kepala desa segera menyampaikan panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum.
·         Jika kepala desa tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada juru sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan kepala desa itu,  juru sita dapat menempuh tata cara melalui panggilan umum.
8.      Jarak Waktu antara Pemanggilan dengan Hari Sidang
Pasal 122 HIR dan Pasal 10 Rv, mengatur jarak waktu antara  panggilan dengan hari sidang.
a.       Patokan Menentukan Jarak Waktu, Berdasarkan Faktor Jarak Antara Tempat tinggal Tergugat dengan Gedung Tempat Sidang Dilangsungkan.
1.      8 (delapan) hari, apabila jarak tempat tinggal tergugat dengan gedung PN (tempat sidang) tidak jauh,
2.      14 (empat belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan
3.      20 (dua puluh) hari, jika jaraknya  jauh.
b.       Jarak Waktu Panggilan dalam Keadaan Mendesak
Menurut Pasal 122 HIR, adapun aturannya,yaitu:
·         jarak waktunya dapat dipersingkat,
·         batas mempersingkat tidak  boleh kurang dari 3 (tiga) hari.
c.       Jarak Waktu Pemanggilan Orang yang Berada di Luar Negeri
·         Prinsipnya, didasarkan pada perkiraan yang wajar,
·         Faktor yang perlu diperhatikan:
1.      Jarak  Negara tempat tinggal tergugat dengan Indonesia pada satu segi serta jarak tempat tinggal tergugat dengan Konsulat Jenderal RI, dan
2.      Faktor birokrasi yang harus ditempuh dalam penyampaian panggilan.
d.      Penentuan Jarak Waktu, Apabila Tergugat Terdiri atas Beberapa Orang
Pasal 14 Rv, tidak boleh berpatokan kepada tempat tinggal tergugat yang paling dekat. Namun, harus didasarkan kepada tempat tinggal tergugat yang paling jauh.
9.      Pendelegasian Pemanggilan
Yaitu tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita pada PN yang lain. Dalam Rv Pasal 5 diatur, yaitu:
·         Orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum juru sita.
·         Pemanggilan dilaksanakan oleh juru sita PN yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal orang yang hendak dipanggil.
·         Ketua PN bersangkutan meminta bantuan kepada Ketua PN yang membawahi wilayah hukum tempat tinggal tergugat, untuk memerintahkan juru sita PN tersebut menyampaikan panggilan.
·         Ketua PN yang diminta bantuan, mengeluarkan perintah pemanggilan kepada juru sita berdasarkan permintaan bantuan dimaksud.
·         Segera setelah itu, menyampaikan langsung kepada Ketua PN yang melimpahkan, tentang pelaksanaan panggilan yang dilakukan.
10.  Larangan Melakukan Pemanggilan
·         Panggilan atau pemberitahuan tidak boleh disampaikan, sebelum jam 6 pagi.
·         Tidak boleh disampaikan, sesudah jam 6 sore, dan
·         Tidak boleh disampaikan, hari Minggu.
Pengecualian terhadap larangan ini, hanya dapat dilakukan apabila:
-        ada izin dari Ketua PN,
-        izin diberikan atas permintaan penggugat,
-        izin diberikan dalam keadaan mendesak, dan
-        izin dicantumkan  pada kepala surat panggilan/pemberitahuan..
11.  Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Asas Lex Fori
Asas Lex Fori yaitu prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan memutusperkara.
Prof. Asikin Kusuma Atmadja berpendapat “karena cara mengajukan perkara dan cara pemanggilan  kedua belah pihak yang berperkara adalah sangat bersifat acara maka dari ituharus tunduk pula kepada peraturan hukum dari Negara hakim sendiri, in casu berlakulah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR.”
12.  Otentikasi Surat Panggilan
a.       Ditandatangani oleh Juru Sita
b.      Berisi Keterangan  yang Ditulis Tangan Juru Sita yang Menjelaskan Panggilan Telah Disampaikan Di Tempat Tinggal Yang Bersangkutan Secara In Person Atau Kepada Keluarga Atau Kepada Kepala Desa.
13.  Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum
Menurut Pasal 21 Rv:
·         Jika surat panggilan dinyatakan batal;
·         Hal itu terjadi disebabkan perbuatan juru sita: Dilakukan dengan sengaja (intentional) dan karena kelalaian (omission).
·         Dalam hal itu, juru sita dapat dihukum:
-        Untuk mengganti biaya panggilan dan acara biaya yang batal;
-        Untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan atas kebatalan itu berdasarkan PMH (perbuatan melawan hokum yang digariskan Pasal 1365 KUH Perdata).











BAB 7
PUTUSAN AKTA PERDAMAIAN DALAM RANGKA SISTEM MEDIASI
A.    SULIT MENDESAIN SISTEM PERADILAN YANG EFEKTIF
Mendesain sistem peradilan menuju yang efektif dan efisien tidaklah gampang. Terlampau banyak aspek yang saling bertabrakan. Dan terlampau beragam kepentingan yang harus dilindungi. Sedang pada sisi lain kepentingan itu saling bertentangan antara yang satu dengan yang  lain. Pada satu sisi, harus dibuat sistem yang mampu melindungi kepentingan penggugat.  Di sisi lain, harus pula diberi perlindungan kepada tergugat yang mengalami kekalahan untuk mengajukan upaya banding dan kasasi.
Sebenarnya berbagai sistem yang lebih efektif, banyak diajukan pada masa belakangan ini, antara lain dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:
1.      Mengintegrasikan Sistem Manajemen dalam Peradilan
Sistem ini diajukan oleh suatu panitia yang diketuai Lord Hoilsham. Sistem ini mencoba menggabung dan mengintegrasikan manajemen ke dalam sistem peradilan dengan pokok-pokok pikiran :
a.      One Court Entry System
b.      Full Pre-trial Disclosure
c.       Timetable Program
d.      Extra Hour’s Sitting Per Day
e.       In Court Arbitration System
2.      Pembatasan Perkara yang Dapat Dikasasi
a.      Struktur Peradilan Tetap
·         Peradilan tingkat pertama oleh PN,
·         Tingkat banding oleh PT,
·         Dan kasasi oleh MA.
b.      Jenis Perkara Diklasifikasi berdasarkan Kualitas
·         Jenis perkara biasa,
·         Jenis perkara kecil (small claim)
Untuk menentukan apakah suatu perkara digolongkan  perkara kecil, yaitu:
·         Didasarkan pada nilai gugatan,
·         Ditentukan batas minimal ke bawah, misalnya Rp50.000.000,00 ke bawah,
·         Dengan demikian, perkara Rp50.000.000,00 ke bawah, dikategorikan perkara kecil (small claim),
·         Terhadap perkara  biasa, terbuka upaya banding dan kasasi, tetapi terhadap perkara kecil, tertutup upaya kasasi.
Sistem ini, bertujuan mencapai berbagai sasaran efektifitas dan efisiensi :
a.       Memperpendek atau mengurangi upaya hukum terhadap perkara kecil,
b.      Menghindari penumpukan (backlog) perkara pada tingkat kasasi.
3.      Sistem Penggabungan Pengadilan dengan Arbitrase
a.       Mekanisme Prosesnya
Setiap perkara yang duajukan ke pengadilan :
·         Tidak langsung diperiksa melalui proses litigasi,
·         Tetapi lebih dahulu diperiksa dan diselesaikan melalui proses arbitrase,
·         Yang bertindak sebagai arbiter, salah seorang hakim bertugas di PN yang bersangkutan,
·         Penyelesaian melalui arbitrase bersifat memaksa (compulsory):
-        Mau tidak mau para pihak yang berperkara mesti taat mengikuti proses penyelesaian melalui arbitrase,
-        Itu sebabnya disebut juga compulsory arbitration system,
-        Oleh karena itu, hakim yang ditunjuk sebagai arbiter, mesti mengambil dan menjatuhkan putusan dalam bentuk putusan arbitrase.
b.      Daya Kekuatan Mengikat Putusan (court connected arbitration)
1.      Bila disetujui para Pihak, Final and Binding
-        Putusan alngsung final and binding,
-        Tertutup upaya banding,
-        Serta langsung memiliki kekuatan eksekutorial.
2.      Bila tidak disetujui para Pihak
-        Putusan yang dijatuhkan dengan sendirinya batal demi hukum (null and void), dan putusan dianggap tidak pernah ada (never existed)
-        Dengan demikian, perkara mentah kembali, dan untuk seterusnya diperiksa melalui proses litigasi.
Putusan yang dijatuhkan arbiter dalam system ini disebut:
·         Pre-trial settlement, (putusan praperadilan), atau
·         Mandatory and nonbinding
4.Kritik Mendunia terhadap Peradilan
a.       Penyelesaian Sengketa Lambat
·         Penyelesaian sangat lambat atau buang waktu (waste of time),
·         Hal itu terjadi sebagai akibat system pemeriksaannya:
-        Sangat formalistis (very formalistic),
-        Juga sangat tehnik (very technical).
Sebagai gambaran bagaimana lambatnya penyelesaian perkara mulai dari tingkat pertama sampai kasasi, sering dikemukakan data berikut:
·         Amerika Serikat, 5-10 tahun,
·         Jepang, 5-12 tahun,
·         Korea Selatan, 5-7 tahun, dan
·         Indonesia, rata-rata 5-12 tahun.
b.      Biaya Perkara Mahal
Biaya perkara mahal, dan biaya itu semakin mahal sehubungan dengan lamanya waktu penyelesaian. Semakin lama proses penyelesaian, semakin biaya yang akan dikeluarkan.
c.       Peradilan Tidak Tanggap(Unresponsible)
                I.            Tidak tanggap membela dan melindungi kepentingan umum (public interest)
             II.            Pengadilan sering berlaku tidka adil atau unfair
d.      Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah
Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, tetapi sebaliknya menimbulkan masalah. Beperkara di pengadilan menimbulkan benih kebencian dan dendam bertahun-tahun.
e.       Putusan Pengadilan Membingungkan atau erratic
·         Terkadang, tanpa alasan yang kuat dan masuk akal, pengadilan mengabulkan ganti rugi yang luar biasa jumlahnya,
·         Sebaliknya, meskipun dasar alasan hukum dan buktinya kuat, tuntutan ganti rugi ditolak atau yang dikabulkan dalam jumlah sangat kecil sehingga tidak masuk akal sehat.
f.       Putusan Pengadilan Tidak Memberi Kepastian Hukum
·         Harus diberi perlakuan penerapan hukum yang sama, sehingga dapat dibina legal certaintly dan penegakan hukum yang predictable,
·         Tetapi yang terjadi,  penerapan yang berdisparitas dan fluktuatif dalam kasus yang sama, sehingga terjadi pelanggaran:
-        Asas diskriminasi,
-        Asas equal treatment, and
-        Asas equality before the law.
g.      Kemampuan Para Hakim Bercorak Generalis
Kualitas dan kemampuan profesionalisme hakim pada bidang tertentu sangat minim. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam sengketa yang menyangkut bidang perbankan atau pasar modal. Mungkin juga tidak memahami sama sekali masalah asuaransi, perkapalan dan perdagangan internasional, dan sebagainya.
B.     PENYELESAIAN MELALUI PERDAMAIAN
Penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) , dalam berbagai bentuk, seperti:
·         Mediasi (mediation) melalui system kompromi (compromise) diantara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong(helper) dan fasilitator.
·         Konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator (conciliator):
-        Pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian,
-        Tetapi keputusan tetap di tangan para pihak.
·         Expert determination
Menunjuk seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan. Oleh karena itu, keputusan yang diambilnya mengikat kepada para pihak.
·         Mini trial
Para pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak:
-        Memberi opini kepada kedua belah pihak,
-        Opini diberikan advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak,
-        Opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak, serta member pendapat bagaimana cara penyelesaian yang harus ditempuh para pihak.
1.      Penyelesaian Melalui Perdamaian Mengandung Berbagai Keuntungan
a.       Penyelesaian bersifat informal
b.      Yang menyelesaikan segketa para pihak sendiri
c.       Jangka waktu penyelesaian pendek
d.      Biaya ringan
e.       Aturan pembuktian tidak perlu
f.       Proses penyelesaian bersifat konfidensial
g.      Hubungan para pihak bersifat kooperatif
h.      Komunikasi dan fokus penyelesaian
i.        Hasil yang dituju sama menang
j.        Bebas emosi dan dendam
2.      Hukum Acara Menghendaki perdamaian
Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130  ayat (1) HIR berbunyi:
Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak dating, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.
Selanjutnya, ayat (2) mengatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu yang bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
Sistem yang diatur dalam hokum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada PN, hampir sama dengan court connected arbitration system:
·         Pertama-tama, hakim membantu atau menolong para pihak yang beperkara untuk menyelesaikan sengketa dengan perdamaian,
·         Selanjutnya, apabila tercapai kesepakatan diantara penggugat dan tergugat:
a.       Kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditandatangani para pihak,
b.      Terhadap perjanjian perdamaian, dibuat akta berupa putusan yang dijatuhkan pengadilan yang mencantumkan amar, menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian.
3.      Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif
Pasal 131  ayat (1) HIR, mengatakan:
Jika hakim tidak dapat mendamaikan para pihak. Maka, hal itu mesti disebut dalam berita acara sidang.
Kelalaian menyebutkan hal itu dalam acara mengakibatkan pemeriksaan perkara: mengandung cacat formil dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum.
Mendamaikan bersifat imperative. Tidak boleh diabaikan dan dilalaikan. Proses pemeriksaan yang tidak menempuh dan tidak dimulai dengan tahap mendamaikan, batal menurut hukum.
a.       Secara Ekstrim pemeriksaan yang mengabaikan tahap mendamaikan, tidak sah,
b.      Pencantuman upaya mendamaikan dalam putusan
C.    PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
1.      Landasan Formil Prosedur Mediasi
a.       Semula Diatur dalam SEMA No.1 Tahun 2002
b.      Disempurnakan dalam PERMA No.2 Tahun 2003
c.       Alasan Penerbitan PERMA
·         Mengatasi penumpukan perkara
·         SEMA No.1 Tahun 2002, belum lengkap
·         Pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg, dianggap tidak memadai
2.      Lingkup Integrasi Mediasi dalam Sistem Peradilan
a.      Institusionalisasi Proses Mediasi dalam Proses Peradilan
·         Mampu mendorong para pihak merundingkan penyelesaian perkara yang lebih efektif melalui perdamaian.
·         Dengan demikian, dalam upaya mewujudkan penyelesaian perkara melalui perdamaian, tidak lagi bertumpu pada Pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg, tetapi sekaligus berpedoman pada proses mediasi yang bersifat memaksa (compulsary)
b.      Pengertian Mediasi
Pasal 1 butir 6 :
·         Proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak yang beperkara
·         Perundingan yang dilakukan para pihak, dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berpihak :
1.      Sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial) , dan
2.      Berfungsi sebagai pambantu atau penolong (helper) mencari berbagai kemungkinan atau alternative penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan kepada para pihak.
c.       Yang Dapat Bertindak sebagai Mediator
Pasal 6 ayat 1, mediator dalam lingkungan peradilan:
1.      Berasal dari kalangan hakim
2.      Boleh juga yang bukan hakim
3.      Syaratnya telah memiliki sertifikat sebagai mediator
d.      Lingkup Yurisdiksi
Yaitu batas-batas kewenangan berlakunya proses integrasi mediasi dalam system peradilan.
1.      Yurisdiksi instansional
2.      Yurisdiksi substantif
e.       Proses Mediasi Bersifat Memaksa
f.        Jangka Waktu Proses Mediasi
3.      Ruang LingkupTahap Pramediasi
a.       Hakim Memerintahkan Menempuh Mediasi
b.      Hakim Wajib Menunda Persidangan
c.       Hakim Wajib Memberi Penjelasan tentang Prosedur dan Biaya Mediasi
d.      Wajib Memilih Mediator
e.       Proses Mediasi oleh Mediator Lain
4.      Ruang Lingkup Tahap Mediasi
a.       Para Pihak Wajib Menyerahkan Fotokopi Dokumen
b.      Kewajiban dan Peran Mediator
c.       Sistem Proses Mediasi
d.      Mediasi Menghasilkan Kesepakatan
e.       Proses Mediasi Gagal
5.      Nilai Kekuatan Pembuktian Pernyataan Pengakuan dalam Proses Mediasi
a.       Tidak Dapat Dijadikan Sebagai Alat Bukti
b.      Segala Dokumen Wajib Dimusnahkan
c.       Mediator Dilarang Menjadi Saksi
6.      Tempat dan Biaya Mediasi
a.       Tempat Penyelenggaraan Mediasi
b.      Biaya Penyelenggaraan Mediasi
D.    KRITERIA DASAR UNTUK MENDAMAIKAN
Criteria dasar untuk mendamaikan:
1.      Memperbaiki Hubungan Pihak yang Bersengketa
2.      Menghasilkan Kesepakan= Kompromi
3.      Kesepakatan Mampu Menyelesaikan Kepentingan yang Bertentangan
4.      Menyelesaikan Tindakan dan Kepentingan
Hindari memperdebatkan dan menonjolkan posisi para pihak:
1.      Hindari penonjolan : Bargaining Position dan Bargaining Power.
2.      Memperdebatkan posisi, mempertajam kehendak mau menang sendiri.
3.      Menonjolkan posisi melahirkan sikap pantang mundur dan menyerah.
E.     SYARAT FORMIL PUTUSAN PERDAMAIAN
1.      Persetujuan Perdamaian Mengakhiri Perkara
2.      Persetujuan Perdamaian Berbentuk Tertulis
3.      Pihak yang Membuat Persetujuan Perdamaian adalah orang yang Mempunyai Kekuasaan
4.      Seluruh Pihak yang Terlibat dalam Perkara Ikut dalam Persetujuan Perdamaian.
F.     PUTUSAN PERDAMAIAN YANG BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DAPAT DIBATALKAN
1.      Pasal 1859 ayat (1) KUH Perdata
2.      Pasal 1859 ayat (2) KUH Perdata
3.      Pasal 1860 KUH Perdata
4.      Pasal 1861 KUH Perdata
5.      Pasal 1862 KUH Perdata
G.    KEKUATAN HUKUM YANG MELEKAT PADA PENETAPAN AKTA PERDAMAIAN
1.      Disamakan Kekuatannya dengan Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap
2.      Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
3.      Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding.



No comments:

Post a Comment