NAMA : MIN AMRINA
ROSYADA
NIM : 152 102
054
HUKUM ACARA PERDATA
RESUME BAB VII
PENYITAAN
A.
PENGERTIAN DAN
TUJUAN PENYITAAN
Penyitaan berasal dari belanda yaitu beslag, dan istilah
indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan.
Pengertian yang terkandung dalamnya ialah:
ð Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara memaksa berada
kedalam penjagaan
ð Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi berdasarkan
perintah pengadilan atau hakim.
ð Barang yang di sita berupa barang yang disengketakan
ð Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama
proses pemeriksaan.
Tujuan penyitaan:
1.
Agar gugatan
tidak illusoir
Tujuan utama penyitaan, agar barang harta kekayaan tergugat:
ð Tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau
penghibahan
ð Tidak dibebani dengan sewa menyewa atau di agunkan kepada pihak
ketiga
Ditinjau dari segi teknis peradilan, penyitaan atau beslag
mempunyai beberapa tujuan antara lain:
ð Merupakan upaya hukum bagi penggugat untuk menjamin dan melindungi
kepentingannya atas keutuhan dan keberadaan harta kekayaan tergugat sampai
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap;
ð Untuk menghindari tindakan iktikad buruk tergugat dengan berusaha
melepaskan diri memenuhi tanggung jawab perdata yang mestinya dipikulnya atas
PMH atau wanprestasi yang dilakukannya;
ð Dengan adanya penyitaan melalui perintah pengadilan, secara hukum
harta kekayaan tergugat berada dan ditempatkan di bawah penjagaan dan
pengawasan pengadilan, sampai ada perintah pengangkatan atau pencabutan sita;
ð Apabila penyitaan telah diumumkan melalui pendaftaran pada buku
register kantor yang berwenang untuk itu sesuai dengan pasal 198 HIR dan Pasal
213 RBG, pada tindakan itu melekat ketentuan berikut:
1)
Larangan Pasal
199 HIR dan Pasal 215 RBG
Melarang
tergugat menjual, menghibahkan, atau memindahkan barang itu dalam bentuk apapun
dan kepada siapa pun.
2)
Pelarangan atas
larangan itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum:
i.
Akibat hukum
dari segi perdata:
-
Jual beli atau
pemindahan batal demi hukum (nuul and void)
ii.
Akibat hukum
dari segi pidana:
-
Dapat diancam
melakukan tindakan pidana Pasal 231 KUH Perdata, berupa kejahatan dengan segaja
melepaskan barang yang telah disita menurut peraturan undang-undang yang
berlaku
-
Perbuatan itu
dincam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun
2.
Objek eksekusi
sudah pasti
Pada
saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menjelaskan dan menunjukan
identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan
batas-batasanya. Atas permohonan itu pengadilan melalui juru sita memeriksa dan
meneliti kebenaran identitas barang pada saat penyitaan dilakukan.
B.
BEBERAPA PRINSIP
POKOK SITA
1.
Sita
berdasarkan permohonan
Menurur
Pasal 226 dan pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No. 5
Tahun 1975, pengabulan atas perintah pelaksaan sita, bertitik tolak dari
permintaan atau permohonan penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan
berdasarkan ex-officio hakim.
Bentuk permohonan
Bertitik
tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut HIR-RBG adalah proses
beracara secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan pasal 226 dan Pasal 227
HIR, bentuk permohonan sita:
1)
Bentuk lisan
(oral)
2)
Bentuk tertulis
Pasal
227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa
surat permintaan:
a)
Permintaan disatukan
dengan surat gugatan
b)
Diajukan dalam
surat tersendiri
2.
Permohonan berdasarkan alasan
a.
Alasan sita
Menurut
pasal 227 HIR maupun pasal 720 Rv, alasan pokok permintaan sita:
1)
Ada
kekhawatiran atau prasangka tergugat:
ð Mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta
kekayaannya, dan
ð hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara
berlangsung
2)
kekhawatiran
atau prasangka itu harus nyata dan beralasan secara objektif
b.
yang berwenang
menilai alasan
penilaian
atas alasan sita menjadi kewenangan hakim.
c.
Tanpa alasan
sita ditolak
Jika
pada sisi satu permohonan tidak didukung alasan yang objektif dan masuk akal
dan pada sisi lain penyitaan itu sendiri tidak relevan dan urgen dengan isi
gugatan maka terdapat dasar alasan yang cukup untuk menolak permintaan sita.
3.
Penggugat wajib
menunjukan barang objek sita
Hukum memebenarkan kewajiban kepada penggugat untuk menyebut secara
jelas dan satu persatu barang objek yang hendak disita.
a.
Tidak
dibenarkan menyebut secara umum
Permintaan
sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan
tergugat, dianggap tidak memenuhi syarat.
b.
Menyebut rinci
identitas yang melekat pada barang
Penyebutan
identitas barang secara lengkap meliputi:
1)
jenis atau
bentuk barang
2)
letak dan
batas-batasnya serta ukurannya dengan ketentuan, jika tanah yang bersetifikat,
cukup menyebut nomor sertifikat hak yang tercantum di dalamnya.
3)
Nama pemilik
4)
Taksiran harga
5)
Jika mengenai
rekening, disebut nomor rekeningnya, pemiliknya, dan bank tempat rekening
berada maupun jumlahnya
6)
Jika saham,
disebut nama pemegangnya, jumlahnya, dan tempat terdaftar.
4.
Permintaan
dapat diajukan sepanjang pemeriksaan sidang
Undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan dapat diajukan
permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung. Dikemukakan acuan
penerapan pengajuan permintaan sita yaitu:
a.
Selama belum
dijatuhi putusan pada tingkat peradilan pertama
Selama
proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama penggugat dapat dibenarkan
mengajukan permintaan sita . ketentuan batas waktu ini secara tersurat disebut
dalam pasal 127 ayat (1) HIR yang mengatakan sita terhadap harta kekayaan tergugat
dapat diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut.
b.
Dapat diajukan
selama putusan belum dieksekusi
Ketentuan
ini dinyatakan dalam pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi selama putusan yang
mengalahkannya belum dijatuhkan eksekusinya dengan demikian selama putusan
belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau selama belum di eksekusi pengguat
dapat mengajukan permintaan sita atas harta kekayaan tergugat.
c.
Instansi yang
berwenang memerintahkan sita
ü Mutlak menjadi kewenangan PN, pendapat ini bertitik tolak pada
pasal 197 ayat (1) HIR
ü PT berwenang memerintahkan sita, pendapat ini didasarkan pada pasal
227 ayat (1) HIR
5.
Pengabulan
berdasarkan pertimbangan objektif
Dalam penetapan pengabulan sita, haruslah jelas dan terang
tercantum pertimbangan yang rasional dan objektif diantaranya:
a.
Argumentasi
mengenai alasan
b.
Cara memperoleh
fakta yang lebih objektif yaitu melalui proses pemeriksaan insidentil dan
proses pemeriksaan pokok perkara
6.
Larangan
menyita milik pihak ketiga
Proses penyelesaian suatu perkara tidak boleh menimbulkan kerugian
kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip
kontrak partai digariskan pada pasal 1340 KUH perdata.
7.
Penyitaan
berdasarkan perkiraan nilai objektif dan proporsional dengan jumlah tuntutan.
Untuk menghindari tindakan penyitaan yang berlebihan perlu
diperhatikan pedoman berikut:
a.
Dalam sengketa
milik, penyitaan terbatas pada barang yang di sengketakan saja
b.
Dalam sengketa
utang dijamin dengan barang tertentu
c.
Sita dilakukan
terhadap semua harta kekayaan tergugat sampai terpenuhi jumlah tuntutan
d.
Apabila terjadi
pelampauan sengketa segera dikeluarkan penetapan pengangkatan sita.
8.
Mendahulukan penyitaan
barang bergerak
9.
Dilarang
menyita barang-barang tertentu
Salah satu prinsip yang penting diperhatikan diatur dalam pasal 197
ayat (8) HIR atau pasal 211 RBG. Ketentuan pasal ini merupakan pengecualian
terhadap asas yang diatur dalam pasal 1131 KUH perdata menurut ketentuan ini
seluruh harta kekayaan debitur dapat dijadikan objek pelunasan pembayaran
utangnya. Malahan ketentuan pasal 197 ayat (8) HIR memuat pengecualian berupa
larangan meletakkan sita terhadap jenis barang tertentu.
10.
Penjagaan sita
tidak boleh diberikan kepada penggugat
Mengenai penjagaan barang sitaan berpedoman pada ketentuan pasal
197 ayat (9) HIR atau pasal 212 RBG. Dalam ketentuan tersebut ditegakkan
prinsip penjagaan brang sitaan tetap berada ditangan tergugat atau tersita.
11.
Kekuatan
mengikat sita sejak diumumkan
Pengumuman berita acara sita merupakan syrat formil untuk mendukung
kekuatan mengikat sita pada pihak ketiga selama belum di umumkan kekuatan
formilnya baru mengikat pada pada para pihak yang bersengketa belum mengikat pada
pihak ketiga.
12.
Dilarang
memindahkan atau membebani barang sitaan
13.
Sita
penyesuaian
14.
Larangan
menyita milik Negara
Seperti terlihat pada putusan MA No. 2539 K/Pdt/1985, larangan
menyita barang-barang milik Negara merujuk kepada UU Perbendaharaan Negara No.
9 Tahun 1968. Larangan itu diatur pada bagian 10 dengan judul larangan menyita
uang, barang-barang milik Negara, terdiri dari pasal 65 dan 66 hanya dua pasal
sehingga pengaturannya sangat singkat.
C.
SITA
REVINDIKASI
1.
Pengertian
Sita revindikasi bentuknya berupa:
ü Hanya terbatas barang bergerak yang ada ditangan orang lain
(tergugat)
ü Barang itu berada di tangan orang lain tampa hak,
2.
Urgensi sita
revindikasi
Urgensi sita revindikasi berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1977
KUH perdata. Menurut ayat (1) pasal ini:
ü Barang siapa yang mengusai barang bergerak, dianggap sebagai
pemilik yang sempurna atas barang itu
ü Berdasarkan doktrin tersebut, untuk menghindari jatuhnya barang itu
kepada pihak ketiga yang berakibat barang itu dianggap miliknya, sangat urgen
meletakkan sita terhadapnya
3.
Penerapan sita
revindikasi dalam transaksi tertentu
Ada beberapa pengecualian yang membolehkan sita revindikasi
terhadap barang yang ada di bawah penguasaan orang alin, meskipun penguasaan
itu berdasarkan titel yang sah.
a.
Dalam transaksi
pinjam barang
Pasal
1751 KUH Perdatav mengatakan, jika barang itu berada di bawah penguasaan orang
lain berdasarkan atas hak:
ü Pinjam atau meminjam, dan
ü Sebelum waktu perjanjian pinjaman habis, atas alasan mendesak dan
sekonyong-konyong barang itu sangat diperlukan pemilik sendiri,
ü Pemilik dapat meminta kepada hakim untuk memaksa peminjam (pemakai)
mengembalikan barang itu kepadanya.
b.
Bedasarkan hak
reklame (reclemerecht)
Hak
reklame adalah tuntutan hukum untuk meminta kemabli barang yang dijual kepada
pembeli atau pemegang barang, apabila pembeli tidak melunasi pemabayaran harga
yang disepakati.
Cara
menuntut hak reklame yang dikaitkan dengan sita revindikasi tidak diatur dalam
HIR dan RBG, tetapi dijumpai dalam pasal 571 Rv, menurut pasal ini:
i.
Penuntutan hak
reklame diajukan kepada ketua PN,
ii.
Pengajuan
dilakukan sebelum barang itu dijual pembeli,
iii.
Kalau hak
reklame diajukan setelah pembeli menjual kepada pihak ketiga , tuntutan itu
harus dianggap:
ü Bukan untuk menuntut pengembalian barang,
ü Tetapi harus dianggap sebagai tuntutan terhadap harga pembelian
barang.
4.
Syarat atau
alasan pokok sita revindikasi
Syarat pokok atau alasan utama dilakukanya permintaan sita
revindikasi, merujuk kepada ketentuan Pasal 226 ayat (1) HIR, pasal 714 Rv:
a.
Objek sengketa adalah
barang bergerak
b.
Pemohon adalah
pemilik barang
c.
Barang berada
di bawah penguasaan tergugat tampa hak berdasar jual beli maupun pinjam
d.
Menyebut dengan
seksama barang yang hendak disita
5.
Tata cara sita
revindikasi
Menurut pasal 226 ayat (3) HIR, tata cara pelaksanaan sita
revindikasi, selain tunduk kepada ketentuan 226 HIR itu sendiri, terhadapnya
berlaku ketentuan umum yang diatur dalam pasal 197 HIR. Hal ini pun ditegaskan
juga dalam pasal 718 Rv, bahwa dalam tata cara pelaksanaan sita revindikasi diberlakukan
dengan cara, seperti penyitaan eksekusi terhadap barang-barang bergerak.
a.
Surat penetapan
sita
b.
Penyitaan
dilaksanakan panitera atau juru sita
c.
Memberitahukan
penyitaan kepada tergugat
d.
Juru sita
dibantu dua orang saksi
e.
Pelaksanaan
sita dilakukan di tempat barang terletak
f.
Membuat berita
acara sita
g.
Meletakkan
barang sitaan di tempat semula
6.
Memanggil para
pihak menghadiri siding
Ketentuan ini diatur dalam pasal 226 ayat (4) dan (5) HIR. Jika
ketentuan tersebut di ikuti pelaksanaan sita revindikasi dijalankan mendahului
proses pemeriksaan pokok perkara.
7.
Menyatakan sita
sah dan berharga
Pasal 226 ayat (9) HIR memerintahkan hakim untuk menyatakan sita
sah dan berharga apabila gugatan penggugat dikabulkan. Bertitik tolak dari
ketentuan pasal ini revindikasi san dan berharga bersifat:
ü Asesornterhadap pengabulan gugatan
ü Kalau gugatan dikabulkan, dalam amar putusan harus terdapat dictum
yang bersifat deklaratif yang menyatakan sita revindikasi san dan berharga.
8.
Menyerahkan
barang kepada penggugat
Ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 226 ayat (7) HIR. Apabila
gugatan dikabulkan amar putusan harus mencantumkan dua hal:
ü Menyatakan sita sah dan berharga, dan
ü Memerintahkan tergugat menyerahkan barang sitaan kepada penggugat.
9.
Memerintahkan
pencabutan sita apabila gugatan ditolak
Diatur dalam pasal 226 ayat (7) HIR yang menegaskan:
ü Apabila gugatan penggugat ditolak dan sita revindikasi telah
diletakkan atas barang, dan
ü Penolakan gugatan harus dibarengi dengan amar yang bersifat
perintah pencabutan penyitaan.
D.
SITA JAMINAN
(CONSERVATOIR BESLAG)
1.
Pengertian dan
penerapan
a.
Menyita milik
tergugat untuk menjamin pembayaran utang
Pengertian
sita jaminan diatur dalam pasal 227 ayat (1) HIR, pasal 261 ayat (1) RBG atau
pasal 720 Rv:
ü Menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam
perkara tersebut;
ü Tujuannya, agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan
tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan
dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat dapat terpenuhi,
dengan jalan menjual barang sitaan itu.
Bertitik tolak pada penggarisan pasal 227 ayat (1) HIR, penerapan
sita jaminan pada dasarnya hanya terbatas pada sengketa perkara utang piutang
yang ditimbulkan oleh wanprestasi.
b.
Dapat
diterapkan atas tuntutan ganti rugi
Seperti
yang dijelaskan, dalam arti sempit berdasarkan pasal 227 ayat (1) HIR, sita
jaminan hanya dapat diterapkan dalam perkara hutang-piutang. Akan tetapi dalam
praktiknya, penerapannya diperluas meliputi sengketa tuntutan ganti rugi baik
yang timbul dari:
ü Wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 jo. Pasal 1247 KUH Perdata dalam
bentuk penggantian biaya, bunga dan keuntungan yang akan diperoleh, atau
ü Perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, dalam
bentuk genti rugi materil dan imateriil.
c.
Dapat
diterapkan dalam sengketa milik
Sita
jaminan ternyata telah diperluas juga meliputi sengketa hak milik atas benda
tidak bergerak.
2.
Objek sita
jaminan
a.
Dalam sengketa
milik, terbatas atas barang yang disengketaankan
b.
Terhadap objek
dalam sengketa utang atau ganti rugi
Objek
sita jaminan dalam perkara utang-piutang atau ganti rugi dapat diterpakan
alternatif berikut.
1)
Meliputi
seluruh harta kekayaan tergugat
2)
Terbatas pada
barang agunan
Jika
perjanjian utang-piutang dijamin dengan agunan barang tertentu:
ü Sita jaminan dapat langsung diletakkan di atasnya meskipun
bentuknya barang tidak bergerak;
ü Dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan barang tertentu,
pada barang itu melekat sifat spesialitas yang memberi hak separatis kepada
kriditor, oleh karena itu prinsip mendahulukan penyitaan barang bergerak
disingkirkan oleh perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan.
3.
Sita jaminan
atas barang bergerak
Ada beberapa hal yang perlu diingat dalam penyitaan jaminan atas
barang bergerak, antara lain:
a.
Barang sitaan
tetap diletakkan pada tempat semula
b.
Penjagaan dan
penguasaan diserahkan kepada tergugat (tersita)
c.
Tidak boleh
diletakkan sita jaminan atas permintaan penggugat lain
d.
Secara
kasuistis dapat dibebankan jaminan kepada penggugat
e.
Tersita berhak
mengajukan bantahan
4.
Sita jaminan
atas barang tidak bergerak
Selain dari ketentuan yang biasa berlaku terhadap sita pada
umumnya, terdapat ketentuan yang bersifat khusus terhadap sita jaminan tidak
bergerak, adalah sbb:
a.
Penjagaan
barang sitaan
b.
Boleh dipakai tersita
c.
Hasil yang
tumbuh setalah penyitaan
d.
Penerapan sita
penyesuaian tidak mutlak
e.
Pengadilan
dapat memerintahkan penggugat memberi jaminan
f.
Berhak
mengajukan bantahan atau perlawanan
g.
Tersita berhak
memberi barang pengganti objek sitaan
h.
Pernyataan sita
jaminan sah dan berharga
5.
Penyitaan di
tangan pihak ketiga
a.
Syarat
permintaan sita pihak ketiga
Syarat
yang mesti dipenuhi agar dapat diletakkan sita kepada pihak ketiga, dijelaskan
dalam pasal 728 Rv:
1)
Barang yang
hendak disita adalah milik tergugat
2)
Permintaan sita
didukung oleh surat dalam bentuk:
ü Akta outentik, atau
ü Akta di bawah tangan
3)
Barang objek
sita pihak ketiga
4)
Penyitaan
berdasarkan perintah
5)
Pemberitahuan
penyitaan
6)
Memanggil
penggugat menghadiri sidang
7)
Menghadiri
pihak ketiga pada pengucapan putusan
8)
Pihak ketiga
dapat dipaksa menyerahkan barang sitaan
9)
Larangan derden
beslag atas barang tertentu
E.
SITA HARTA
BERSAMA (MARITAL BESLAG)
a.
Tujuan sita
harta bersama
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu sita revindikasi bermaksud
untuk menuntut pengembalian barang yang bersangkutan kepada penggugat sebagai
pemilik, sedang sita jaminan bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai
pemenuhan pembayaran utang tergugat.
Dengan demikian pembekuan harta bersama dibawah penyitaan berfungsi
untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas
tindakan yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.
Tentang sejauh mana tindakan pengamanan yang diamanatkan sita harta
bersama, dapat berpedoman kepada ketentuan pasal 823 Rv berdasarkan atas
kepentingan beracara. Menurut pasal ini, tindakan pengamanan meliputi:
ü Penyegelan
ü Pencatatan
ü Penilaian harta bersama
ü Penyitaan harta bersama
1.
Pengaturan sita
harta bersama
Pengaturannya ditemukan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, seperti berikut:
a.
Pasal 190 KUH
Perdata yang berbunyi:
Sementara
perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan
untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.
b.
Pasal 24 ayat
(2) huruf c PP No 9 Tahun 1975
Menurut
pasal ini, selama berlansungnya gugatann perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul,
pengadilan dapat mengizinkan dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri.
c.
Pasal 78 huruf
c UU No. 7 Tahun 1989
Bunyi
pasal ini persis sama dengan pasal 24 ayat (2) huruf c PP No 9 Tahun 1975.
Berdasarkan
pasal 78 huruf c, lingkungan peradilan agama pun telah memiliki aturan hukum positif tentang
lembaga sita harta bersama (sita marital).
d.
Pasal 823 Rv
yang berbunyi:
Tindakan-tindakan
yang boleh dilakukan sehubungan dengan pasal 190 KUH perdata adalah penyegelan,
pencatatan harta kekayaan dan penilain bararng-barang, penyitaan jaminan atas
barang-barang bergerak bersama atau barang-barang yang tetap bersama...
2.
Lingkup
penerapan sita harta bersama
a.
Pada perkara
perceraian
b.
Pada perkara
pembagian harta bersama
c.
Pada perbuatan
yang membahayakan harta bersama
3.
Sita meliputi
seluruh harta bersama
Sita
harta bersama , meliputi seluruh harta bersama, baik yang ada di tangan suami
atau istri.
4.
Sita marital
tidak meliputi harta pribadi
Sesuai
dengan prinsip harta perkawinan yang di atur dalam bab 7 sebagaimana digariskan
dalam pasal 35 dan pasal 36 UU No. 1 tahun 1974, undang-undang memperkenalkan
dua bentuk harta dalam ikatan perkawinan
a.
Harta bersama
yaitu harta yang di peroleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan.
b.
Harta pribadi
yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan berlangsung.
5.
Penjagaan dan pemanfaatan
barang sitaan
a.
Penjagaan
barang yang disita
ü Menetapkan dan menyerahkan Penjagaan barang yang disita dari suami
kepada suami.
ü Menetapkan dan menyerahkan Penjagaan barang yang disita dari istri
kepada istri.
b.
Pemanfaat
barang yang disita
Ketentuan
pasal 823 j Rv menyatakan bahwa:
ü Peletakan sita marital atas barang bergerak atau tidak bergerak,
tidak menghalangi suami atau istri untuk memanfaatkan apa-apa yang dihasilkan
barang tersebut
ü Pemanfaat hasil itu satu pihak dibebani kewajiban untuk membagi hasil
itu kepada pihak yang lain
6.
Sita harta
bersama menghalangi penyitaan pihak ketiga
Jika
permintaan sita jaminan dari pihak ketiga untuk menjamin pembayaran utang suami
atau istri maupun utang keluarga (utang bersama suami istri) terhadap harta
bersama setelah diatasnya diletakkan sita marital maka yang dapat dikabulkan
hanya sebatas sita penyesuaian saja.
7.
Berakhirnya
sita harta bersama
Hal-hal
yang dapat mengakhiri sita harta bersama, yaitu:
1)
Tuntutan
perceraian atau pembagian harta bersama ditolak pengadilan
2)
Berdasarkan
penetapan pengangkatan sita yang dikeluarkan pengadilan atau permohonan salah
satu pihak
3)
Gugatan
perceraian dan pembagian harta bersama dikabulkan, kemudian bedasarkan putusan
itu, telah dilaksanakan pembagian harta bersama.
8.
Permintaan
pengangkatan sita
Seperti
yang telah dijelaskan, salah satu ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis
penyitaan adanya hak untuk meminta pengagkatan sita ketentuan itu juga berlaku
pada sita harta bersama.
9.
Dapat diajukan
perlawanan atas sita marital
Alasan
yang dapat dijadikan dasar perlawanan ialah:
ü Hak milik
ü Bahwa baik seluruh atau sebagian harta yang di sita marital
tersebut adalah milik pelawan bukan harta bersama suami istri.
Adapun perlawanan terhadap sita marital, dapat berbentuk:
1)
Partai verzet
atau perlawanan yang bersifat partai yang diajukan oleh suami atau istri.
2)
Derden verzet
atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga, atas alasan:
ü Seluruh atau sebagian harta yang disita adalah miliknya bukan harta
bersama suami-istri yang bersangkutan.
ü Oleh karena itu, sita harta bersama yang diletakkan di atasnya
keliru dan tidak sah, dengan demikian harus segera diangkat.
10.
Perimintaan
izin menjual atau mengagunkan barang sitaan
Dapat
dilihat dalam ketentuan pasal 823 h ayat (2) Rv:
ü Pihak yang berkepentingan (suami atau isteri) dapat mengajukan
permohonan izin untuk menjual atau menggunkan barang bergerak atau tidak
bergerak yang sedang berada di bawah sita marital,
ü Atas permintaan itu pengadilan dapat memberikan izin dengan syarat:
1)
Penjualan itu
atau pengagunan itu sedemikian rupa pentingnya untuk menyelamatkan kehidupan
pemohon dan keluarga;
2)
Harus mendengar
pihak lain (suami atau istri) tentang hal itu, baik dalam sidang insidentil atau
dalam sidang pemeriksaan pokok perkara.
3)
Penjualan atau
pengagunan itu, tidak boleh mengakibatkan kerugian yang sedemikian rupa kepada
pihak lain.
Mengenai bentuk pengajuan izin, tergantung kepada keadaan yang mengikuti
sita marital, dengan acuan sebagai berikut:
a)
Berbentuk
permintaan tertulis atau lisan
b)
Bentuk gugatan
voluntair.
No comments:
Post a Comment