Followers

Wednesday, 23 September 2015

Hukum Perdata tentang Hukum Waris



MAKALAH
Hukum perdata
Tentang
HUKUM WARIS
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSYIYAH (AS)

OLEH
LATIPAH : 152 102 044


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) MATARAM
2012


BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai seorang makhluk tuhan yaitu sebagia insan yang bernyawa, maka kita tidak lepas yang namanya suatu kematian, karena setiap yang bernyawa  pasti akan mati.
Apabila kita berbicara masalah kematian maka pada saat itu ada kerabat atau keluarga yang ditinggalkan.  Di dalam keluarga jika salah seorang yang meninggal dunia dan mempunyai harta yang ditinggalkan, maka harta yang ditinggalkan itu agar bisa bermamfaat untuk keluarganya maka harta tersebut harus dibagikan  kepada keluarganya yang masih hidup yang disebut dengan warisan.
Dalam pembagian harta warisan akan diatur bagaimana warisan itu dibagikan,  kepada  siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana besar warisan yang bisa di peroleh, dan lain-lain.
Dalam pembahasan hukum waris ini, disini penulis akan lebih fokus membahasan materi hukum waris KUH Perdata, tapi disamping penulis membahas waris menurut KUH Perdata juga akan dibahas secara ringkas hukum waris adat dan hukum waris islam. Karena hal ini sangat penting untuk membandingkan dan di analisis guna mengetahui ke arah mana pembinaan hukum waris nasional tersebut.

RUMUSAN MASALAH
Dalam bab waris ini penulis dapat memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perbandingan waris menurut KUH Perdata, hukum adat dan hukum waris islam





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Waris
Di dalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian hukum waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsep-konsep tentang pewarisan, orang-orang yang berhak dan tidak berhak menerima waris, dan lain-lain. Namun, di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu di dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 berbunyi: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.[1]
Hukum waris dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Hukum waris tertulis
Hukum waris tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan UU dan Yurisprudensi.
2.      Hukum waris adat
Hukum waris adat adalah hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat adat.
B.     Sistem Hukum Waris Islam dan BW
1.      Sistem hukum waris islam
Hazarin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-quran mengemukakan bahwa “Sistem kewarisan islam adalah sistem individual bilateral.[2] Dikatakan demikian atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam al-quran diantranya seperti yang tercantum dalam masing-masing surat An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 33, dan 176.
Hazarin juga mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri sistem hukum waris islam menurut al-quran, yaitu:
-          Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar al-quran hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin sebagai ahil waris jika pewaris meninggal dunia tampa keturunan.
-          Jika meninggal dunia tampa keturunan maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya.
-          Suami-istri saling mewarisi; artinya, pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris pihak lainnya.
2.      Sistem Hukum Waris BW
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “Harta asal maupun harta gono gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisannya. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu: “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sedangkan dalam sistem hukum waris adat membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditingglkan pewaris.
C.    Azaz Hukum Waris Mengenai Pewaris dan Diri Ahli Waris.
Terdapat lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta warisan,
cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang
diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu:[3]
1.      Asas ijbari (paksaan)
Dalam hukum waris Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris  atau permintaan dari ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan hukum BW di mana pewaris dapat menunjuk ahli waris melalui wasiat.
2.      Asas Bilateral
Asas ini mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu seorang lakilaki berhak mendapatkan warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, dan begitu juga sebaliknya.
3.      Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
4.      Asas keadilan berimbang
Keadilan berimbang dalam hukum waris Islam adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Baik laki-laki  maupun perempuan mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan, walaupun dari segi jumlah yang diperoleh memang tidak sama. Meskipun demikian, hal tersebut bukan berarti tidak adil. Karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya
diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap istri (keluarganya).
5.      Asas semata akibat kematian
Hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata. Harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam.
D.    Penggolongan Ahli Waris Dan Tentang Ketidakpatuhan
Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam UU, yaitu:
1.      Ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah (Ab Intestato)
Ahli waris Ab Intestato diatur dalam pasal 832 KUH Perdata yang berbunyi “Yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut UU maupun yang diluar pernikahan, dan suami istri yang hidup terlama.[4]
Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dan istri (suami) digolongkan menjadi empat golongan sebagai berikut:[5]
-          Anak, atau keturunannya dan istri (suami) yang hidup. (pasal 852 KUH perdata)
-          Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara pewaris (pasal 854 KUH Perdata)
-          Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus keatas (pasal 853 KUH Perdata)
-          Sanak keluarga dalam garis kesamping sampai tingkat ke enam. (pasal 861 ayat 1 KUH Perdata).
a)      Ahli waris golongan pertama (Pasal 852 KUH Perdata)
Menurut ketentuan pasal 852 KUH Perdata, anak-anak walaupun dilahirkan dari perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki-laki atau perempuan mendapatkan bagian yang sama, mewarisi orang demi orang.
Berhubungan dengan anak adopsi, menurut Ali Afandi, menyatakan bahwa anak adopsi ini kedudukannya di dalam hukum sama seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang yang mengadopsinya. Hal ini terdapat dikalangan orang Indonesia keturunan cina.[6]
b)      Ahli waris golongan kedua (Pasal 854 KUH Perdata)
Menurut ketentuan pasal 854 KUH Perdata, apabila seseorang meninggal dunia tampa meninggalkan keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah dan ibunya masih hidup, yang berhak mewarisi adalah ayah, ibu, dan saudaranya, yaitu:
·         Ayah dan ibu masing-masing mendapat sepertiga dari harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mendapat sepertiga lebihnya.
·         Ayah dan ibu masing-masing mendapat seperempat dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mendapat dua perempat lebihnya.
Selanjutnya, dalam pasal 855 KUH Perdata ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah atau ibunya masih hidup, maka:
·         Ayah atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mendapat seperdua lebihnya.
·         Ayah atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara, yang mendapat dua pertiga lebihnya.
·         Ayah atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mendapat tiga perempat lebihnya.
Jika ayah dan ibu telah meninggal dunia , seluruh harta warisan menjadi bagian saudara-saudara (Pasal 856 KHU Perdata).
c)      Ahli waris golongan ketiga (Pasal 853 KUH Perdata)
Menurut pasal 853 dan 858 KUH Perdata, apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan, baik keturunan istri atau suami, saudara-saudara, maupun orang tua, harta warisan jatuh pada kakek dan nenek.[7]
d)     Ahli waris golongan keempat
Keluarga sedarah dalam garis menyamping lebih dari derajat keenam tidak mewaris. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang membolehkan untuk mewaris, semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh harta warisan. (Pasal 861 KUH Perdata).
2.      Ahli waris berdasarkan surat wasiat (Testamentair)
Sehubungan dengan pewaris, yang penting dipersoalkan adalah perbuatan pewaris pada masa hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila ia meninggal dunia, apakah sebelum ia meninggal dunia apa ada wasiat yang ditinggalkannya kepada seseorang mengenai harta kekayaannya yang disebut surat wasiat (testament).
Surat wasiat (testament) adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan olehnya dapat ditarik kembali (Pasal 875).[8]
Menurut UU, apabila pewaris mempunyai wasiat atau meninggalkan wasiat, maka wasiat itu harus ditulis yang berisi pernyataan apa yang dikehendaki pewaris setelah meninggal dunia sebagaimana dalam hadis dinyatakan bahwa: “Hak setiap orang muslim apabila memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, maka wasiatnya harus ditulis dan disimpan sebelum lewat dua malam”. Dan masalah ini dijelaskan dalam Pasal 875 KUH Perdata yang menyatakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 875 KUH Perdata surat wasiat dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a.       Surat wasiat menurut bentuknya
Menurut ketentuan pasal 931 KUH Perdata, ada tiga macam surat wasiat menurut bentuknya, yaitu:
ü  Surat wasiat olografis atau ditulis tangan sendiri.
Surat wasiat olografis adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris. Surat wasiat alografis harus disimpan pada seorang notaries. Penyimpanan tersebut harus dilakukan dengan akta penyimpanan, yang dibuat oleh notaries yang menyimpan surat wasiat, kemudian ditandatangani oleh notaries yang menyimpan surat wasiat tersebut, pewaris, dan dua orang saksi yang menghadiri peristiwa tersebut (Pasal 932 KUH Perdata)[9]
ü  Surat wasiat umum.
Surat wasiat umum adalah surat wasiat dengan akta umum yang harus dibuat di hadapan Notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
ü  Surat wasiat rahasia atau tertutup.
Surat wasiat rahasia atau tertutup adalah surat wasiat yang dibuat oleh pewaris dengan tulisan sendiri atau ditulis dengan orang lain, yang ditandatangani oleh pewaris.
b.      Surat wasiat menurut isinya
Menurut isinya ada dua macam surat wasiat, yaitu:
ü  Surat wasiat pengangkatan waris (erfsteling)
Menurut ketentuan Pasal 954 KUH Perdata, wasiat pengangkatan ahli waris adalah suatu wasiat, dimana pewaris memberikan kepada satu orang atau lebih harta benda yang ditinggalkannya pada waktu dia meninggal dunia, seluruh maupun sebagian, seperti seperdua atau sepertiga.[10]
ü  Surat wasiat hibah (legat)
Menurut ketentuan pasal 957 KUH Perdata, hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dari macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.[11]
Di dalam BW Sistem pembatasan dalam hal Ab Intestaat (hibah wasiat) tentang besar kecilnya harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris diatur dalam Pasal 913-929 BW
Adapun tentang ketidakpatuhan, menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris adalah
1.      Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris
2.      Mereka yang dengan keputusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3.      Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat surat wasiatnya
4.      Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris
Berbeda dengan KUH Perdata adalah hukum waris adat menurut uraian Prof. Hilman Hadikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu diampuni, ia tetap bisa menerima warisan.[12]
Sedangkan menurut hukum waris islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1.      Pembunuh pewaris
2.      Orang yang murtad
3.      Orang yang berbeda agama dengan pewaris
4.      Anak zina
E.     Pewarisan Dalam Hal Adanya Anak Diluar Kawin
Status kelahiran anak di luar pernikahan dapat dilihat melalui:
1.      Pandangan Hukum Adat
Bila dipandang dari segi hukum adat, jika seorang  wanita yang melahirkan anak diluar pernikahan, maka hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.[13] Akan tetepi apabila pada waktu melahirkan anak, si ibu telah mempunyai suami, maka anak itu adalah anak sah, bukan anak yang lahir diluar pernikahan. Maka dalam hal ini apabila seorang wanita melahirkan anak diluar pernikahan, maka seorang anak itu hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya dan keluarga dari ibunya, sebaliknya apabila anak itu yang meninggal, maka harta peninggalannya hanya diwarisi oleh ibunya dan keluarga ibunya.[14]
2.      Pandangan Hukum Islam
Menurut hukum islam anak yang lahir diluar pernikahan ditetapkan adanya tenggang waktu yaitu tenggang waktu nikah si isteri dengan kelahiran si anak dan tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya perkawinan dengan lahirnya si anak.
3.      Pandangan Hukum BW
Dalam BW yang mengatur hubungan hukum tentang kewarisan antara si ibu dan si anak diluar pernikahan, yaitu tercantum pada pasal-pasal 862/873 BW.
Oleh BW ada kemungkinan seorang anak tidak hanya tidak mempunyai bapak, melainkan juga tidak mempunyai seorang ibu dalam pengertian, antara anak dengan seorang wanita yang melahirkannya itu, tidak ada perhubungan hukum sama sekali tentang pemberian nafkah, warisan dan lain-lain. Antara anak dan si ibu baru mempunyai  perhubungan hukum, apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem tertentu, yaitu menurut pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak atau dalam akte pernikahan bapak dan ibu di depan Pegawai Catatan Sipil (ambtenaar bijdi Burgerlijk stand), atau dengan akte otentik tersendiri ( akte notaries) atau jadi ½ dan tidak ¼ dari bagian anak sah.
Di dalam Burgerlijk Wetboek ada tiga jenis anak:
-          Anak sah
-          Anak diluar pernikahan yang diakui sebagai anak
-          Anak diluar pernikahan yang tidak diakui
Besarnya bagian warisan yang diperoleh anak luar kawin adalah tergantung dari dengan bersama-sama siapa anak luar kawin itu mewaris (dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu mewaris).[15]
Adapun besar warisan yang diperoleh dari anak yang diluar kawin adalah sebagai berikut:
1.      Anak luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan I, bagiannya: 1/3 dari bagiannya seandainya dia anak sah.
contoh:
A meninggal, meninggalkan istrinya B dan dua anak kandung C dan D serta seorang anak luar kawin yang diakui sebelum perkawinanya dengan B, yaitu E, maka pembagian warisannya:

BB
A
                                                              

E
D
C
 



E mendapat 1/3 seandainya ia anak sah.
Seandainya E anak sah, maka bagiannya adalah ¼. maka bagian E = 1/3 x ¼ = 1/12
2.      Anak luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan II dan  III, bagiannya : ½ dari seluruh warisan.
3.      Anak luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan IV, bagiannya: ¾ dari seluruh warisan
F.     Legitieme Portie (Bagian Mutlak) Dalam Waris
Legitieme Portie atau bagian waris menurut UU ialah suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut UU, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh mendapatkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal 913) KUH Perdata.[16]
Maksud dari garis lurus itu adalah garis lurus ke bawah atau garis lurus ke atas, artinya jika tidak ada ahli waris lurus ke bawah, maka garis lurus ke atas berhak atas legitieme portie. yang berhak atas legitieme portie disebut legitimaris.[17]
Dalam pemabahasan legitieme portie ditempatkan dalam pokok bahasan mengenai harta warisan, sebab legitieme portie itu hanya akan ada artinya apabila pewaris meninggalkan harta warisan dan wasiat.
Besarnya legitieme portie ahli waris dalam garis lurus ke bawah diatur dalam pasal 914 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditetapkan besarnya legitieme portie sebagai berikut:
1.      Apabila hanya ada satu orang anak sah, legitieme portie adalah seperdua dari harta warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat.
2.      Apabila ada dua orang anak sah, legitieme portie untuk masing-masing anak adalah 2/3 dari harta warisan yang diperolehnya tampa ada surat wasiat.
3.      Apabila ada tiga orang anak sah atau lebih, legitieme portie untuk masing-masing anak adalah ¾ dari harta warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat.
Menghitung besar legitieme portie harus memperhatikan ketentuan pasal 916a KUH Perdata. Dalam hal ada ahli waris mutlak dan ahli waris tak mutlak maka penghibahan harus tidak melanggar legitieme portie yang ditentukan. Penentuan legitieme portie itu tampa memperhitungkan adanya ahli warisa tak mutlak. Apabila penghibbahan itu melebihi jumlah legitieme portie yang ditentukan tampa memperhitungkan ahil waris tak mutlak, maka kelebihannya dituntut kembali oleh ahli waris mutlak. Maksudnya ketentuan pasal 916a ini ialah supaya ahli waris tak mutlak mendapat perlindungan dari ahli waris mutlak, sehingga bagian warisannya tidak dirugikan oleh penghibahan yang dilakukan oleh pewaris.[18]
Contoh cara menghitung besarnya legitieme portie dalam hal ada wasiat terhadap harta warisan. Pewaris meninggalkan seorang anak dan seorang istri. Anak adalah ahli waris mutlak, istri adalah ahli waris tak mutlak. Bagian anak dan ibu sama, bagian anak ½ warisan (pasal 852a ayat 1 KUH Perdata). Legitieme portie anak tersebut adalah seperdua kali seperdua warisan sama dengan seperempat warisan (pasal 914 KUH Perdata). Dengan demikian warisan yang dapat dihibahkan adalah semua warisan dikurangi seperempat warisan sama dengan tiga perempat warisan.
Dengan perhitungan ini jelas bahwa istri tidak memperoleh bagian apa-apa, sebab harta warisan setelah dikurangi dengan legitieme portie anak (seperempat warisan) dapat dihibahkan semua (tiga perempat warisan). Dengan adanya ketentuan pasal 916a KUH Perdata keadaan menjadi lain. Berdasarkan pasal ini, istri karena bukan ahli waris mutlak tidak dihitung dulu sebagai ahli waris. Yang dihitung hanya anak sebagai ahli waris mutlak. Dengan mengesampingkan istri tadi maka anak memperoleh seluruh warisan (pasal 852 KUH Perdata).
Dengan demikian, legitieme portie anak adalah seperdua dari seluruh warisan (pasal 914 KUH Perdata). Yang dapat dihibahkan adalah seperdua harta warisan, sisanya ialah tiga perempat warisan. Karena yang dapat dihibahkan sekarang hanya seperdua warisan, maka masih terdapat seperdua warisan untuk para ahli waris, baik mutlak maupun tak mutlak. Seperdua warisan dibagi antara anak dan istri. Menurut pasal 852a KUH Perdata bagian istri sama dengan bagian anak. Dengan demikian istri mendapat seperempat warisan anak mendapat seperempat warisan. Jelaslah bahwa pasal 916a KUH Perdata memberi perlindungan terhadap ahli waris tak mutlak sehingga ia tidak dirugikan oleh penghibahan yang dilakukan oleh pewaris.
Untuk menentukan besarnya legitieme portie dalam suatu kewarisan, maka akan diikuti ketentuan pasal 921 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal tersebut:
1.      Harta peninggalan pada waktu pewaris meninggal dunia ditetapkan jumlahnya, bedasarkan harga pada waktu pewaris meniggal.
2.      Jumlah itu harus ditambah dengan jumlah harga barang yang dihibahkan pada waktu pewaris masih hidup. Barang itu harus dinilai menurut keadaan waktu diadakan penghibahan dengan harga pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.      Jumlah yang terdapat tersebut dikurangi dengan segala hutang pewaris.
4.      Sisa pengurangan ini dijadikan dasar untuk menghitung legitieme portie para ahli waris mutlak.


BAB III
KESIMPULAN
            Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan warisan ialah harta yang ditinggalkan oleh pewaris untuk diwarisi setelah pewaris meninggal dunia. Di negara indonesia berlaku tiga hukum adat diantaranya:
1.      Hukum waris islam
2.      Hukum waris adat
3.      Hukum waris BW
Ketiga  hukum waris  menganut sistem kekeluargaan yang dimana  mempunyai segi-segi perbedaan yang amat mencolok yang dapat  paparkan sebagai berikut:
1.      Sistem patrilineal/sifat kebapan
2.      Sistem matrilineeal/ sifat keibuan
3.      Sistem bilateral/Sifat kebapak-ibuan
Dari uraian diatas semakin jelas bahwa sistem keturunan yang berlaku dimasyarakat khususnya masyarakat indonesia bahwa sistem hukum kewarisan bersifat pluralistik sehingga apabila ingin melakukan pembaharuan guna untuk unifikasi hukum maka akan sulit, karena mempunyai aneka ragam hukum waris yang berlaku.









DAFTAR RUJUKAN
Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Renika Cipta. 1997.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000.
Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Renika Cipta. 1991.
Perangin, Effendi. Hukum Waris. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2010.
Salim HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).  Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
Soimin, Soedharyo. Kitab Undang-Undang HUkum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia:Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. Bandung: Refika Aditama. 2005.



[1] Dikutip dari Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika), h, 137.
[2] Dikutip dari, Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam perspektif islam, adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama), h, 15.
[4] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang HUkum Perdata…, h, 216.
[5] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), h, 284
[6] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia..., h, 285.
[7] Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia…, h. 216.
[8] Dikutip dari Ali Afandi, HUkum Waris, HUkum KEluarga, HUkum Pembuktian, (Jakarta: Renika CIpta), h, 14.
[9] Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), h, 203
[10] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang HUkum Perdata…, h. 243.
[11] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang HUkum Perdata.., h. 244
[12] Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia…, h, 289.
[13] Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta: Renika Cipta), h, 65.
[14] Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia…, h, 66.
[15] Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), h, 65
[16] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang HUkum Perdata (Jakarta: Sinar Grafika), h, 233.
[17] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia…, h, 294.
[18]Ali Afandi, 1963:43, dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia…, h, 295.