
Followers
Saturday, 10 October 2015
Class Action
NAMA : MAHSUM
NIM : 152 102 041
KELAS : VI b AS
TUGAS : HK. ACARA PERDATA“M. YAHYA HARAHAP” (BAB IV)
GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
A. SEJARAH RINGKAS
Menurut Prof. Miller, perkembangan Class Actin dalam system Common Law telah memasuki periode ketiga (in a third period of defelopment). Gambaran ringkas perkembangannya, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Inggris
a. Dimulai tahun 1873
Diatur dalam supreme Court of Judicatur Act 1873.
Esensinya, member kemungkinan dan kewenangan bagi pengadilan:
• Menjatuhkan putusan yang bersifat deklaratif atas pemulihan yang adil (ecuitable remedies);
• Yaitu berupa pemulihan terhadap suatu hal yang diderita kelompok yang anggotanya berjumlah banyak (numerous).
b. Perubahan substansial tahun 1965
Diatur dalam supreme Court 1965.
Esensinya, mengatur representative action, yaitu gugatan perwakilan kelompok (GPK) yang berpatokan pada syarat:
• Anggota kelompoknyabanyak
• Terdapat kesamaan kepentingan
• Gugatan itu untuk kepentingan seluruh anggota.
2. Kanada
a. Dimulai tahun 1881
Diatur dalam The Ontario Judicatur Act 1881, dan perkembangan selanjutnya mengikuti inggris.
b. Pada tahun 1992 dikeluarkan class procedorings Act (OCPA, 1992) yang mengatur Class Action (CA)
Pengaturan CA tersebut mencakup adanya sejumlah orang yang mempunyai permasalahan hokum yang sama, permasalahan hokum itu timbul dari fakta atau peristiwa yang sama, dan satu atau lebih anggota kelompok dapt mengajukan gugatan untuk mewakili seluruh anggota kelompok yang bersangkutan.
3. Amerika Serikat
a. Mulai dikenal tahun 1912
Diatur dalam Us federal Equity Rule1912.
b. Diperbaharui pada tahun 1938 dalam Federal Rule of Civil Procedure (FRCP, 1938)
Diperkenalkan tiga jenis CA:
• True CA, bahwa tindakan CA untuk kepentingan bersama
• Hybrid CA, merupakan hak CA yang melibatkan hak trtentu
• Spurious CA adalah CA yang melibatkan hak-hak yang diklaim itu berbeda dan tidak ditujukan kepada harta tertentu.
c. Terjadi lagi pembaharuan pada tahun 1966 (FRCP, 1966)
Perubahan itu mengatur ketentuan, satu orang itu dapat bertindak mewakili kelompok dengan syarat ada sejumlah anggota yang besar dan mempunyai permasalahan hokum dan fakta serta tuntutan yang sama.
4. Australia
Diatur dalam FederalCourt Australia Act 1976, dan beberapa Negara bagian seperti New South Wales, supreme Court Rules, 1976, Victoria Supreme Court Act, 1986.
5. India
Diatur dalam Rule of Order of Civile Procedure, 1908.
6. Indonesia
Baru dikenal secara resmi dan formil pada tahun 2002, diatur dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002, tanggal 26 April 2002.
B. PENGERTIAN CLASS ACTION (CA)
1. Secara Umum
CA merupakan sinonim class suit atau representative action (RA) yang berarti:
a. Gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh sat atuau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representatif)
b. Perwakilan kelompok itu mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili.
c. Dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual satu persatu identitas kelompok yang diwakili.
d. Selain itu antara seluruh anggota kelompok, dengan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hokum yang melahirkan kesamaan kepentingan dan penderitaan.
2. Menurut PERMA No.1 Tahun 2002
a. Istilah yang dipergunakan
Istilah yang dipergunakan adalah acara gugatan perwakilan kelompok (GPK), hal itu ditegaskan dalam dictum PERMA itu sendiri pada bagian menetapkan yang menyebut tentang Acara Gugata Perwakilan Kelompok atau Refresentatif Action.
b. Pengertian GPK
Diatur dalam pasal 1 huruf a yang menyatakan
• Suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih
• Orang itu mewakili kelompok sekaligus dirinya sendiri dan juga anggota kelompok yang jumlahnya banyak.
• Antara yang mewakili dan anggota kelompok yang diwakili memiliki kesamaan fakta atau dasar hokum.
C. TUJUAN CLASS ACTION
Tujuan CA/GPK dalam PERMA, diatur dalam konsideran, antara lain sebagai berikut.
1. Mengembangkan penyederhanaan Akses Masyarakat Memperoleh keadilan
Dengan satu gugatan, doberi hak procedural terhadap satu atau beberapa orang bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan kepentingan penggugat dan sekaligus kepentingan anggota kelompok (bias ratusan atau ribuan anggota.
2. Mengefektifkan Efesiensi Penyelesaian Pelanggaran Hukum yang Menyangkut Orang Banyak
Secara serentak atau missal kepentingan kelompok dibolehkan cukup hanya diajukan dalam satu gugatan saja, hal itu dapat ditempuh apabila ternyata mereka memiliki fakta atau dasar hokum yang sama sehingga kalau gugatan diselesaikan sendiri-sendiri, penyelesaian tidak efektif dan efisien.
D. PENERAPAN LIBERAL ATAU RESTRIKTIF
Dalam sejarah CA, muncul sikap dan penerapan yang agak berbeda. Ada yang menerapkan dengan sikap liberal dan ada pula yang bersikap restriktif.
E. KONSEP HAK GUGATAN LSM BERBWDA DENGAN CLASS ACTION
1. Konsep CA Berdasarkan Commonality
Landasan untama konsep CA adalah asas atau syarat commonality, yaitu prinsip kesamaan yang berkenaan dengan fakta atau dasar hokum dan kesamaan tuntutan hokum.
a. Wakil kelompok (Class Representatif)
Bertindak mengambil inisiatif sebagai penggugat mengajukan gugatan untuk dan atas nama diri sendiri serta sekaligus untuk dan atas nama seluruh anggota kelompok yang jumlahnya banyak.
b. Anggota Kelompok (Class Members)
Diwakili oleh wakil kelompok tanpa memerlukan surat kuasa dari mereka, dengan hak option out (opt out) yaitu menyatakan keluar sebagai anggota kelompok
c. Wakil kelompok dan anggota kelompok mengalami permasalahan yang sama
Hal tersebut meliputi:
• Fakta dan dasar hokum yang sama, dan
• Tuntutan penyelesaian dang anti rugi yang sama.
2. Konsep Gugatan LSM Berdasarkan Pemberian Hak oleh Undang-Undang
LSM bertindak mengajukan gugatan bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata. LSM berada di luar kelompok (class) yang mengalami penderitaan dan kerugian yang ditimbulkan tergugat.
F. SYARAT FORMIL CA
Syarat formil yang merupakan conditio sine qua non mengajukan CA yang digariskan PERMA No. 1 tahun 2002 adalah sebagai berikiut:
1. Ada Kelompok (Class)
Yang membentuk atau membangun terwujudnya suatu kelompok atau kelas menurut hokum, terdiri dari sekian banyak perorangan (individu).
a. Perwakilan kelompok (Class Representatve)
Gambara dan keberadaan serta kapasitas wakil kelompok menurut hokum.
b. Anggota kelompok (Class Member)
1. Jumlah anggota kelompok banyak (Numerous Persons)
Pasal 2 huruf a PERMA berbunyi:
Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam gugatan.
2. Deskripsi kelompok
Dalam gugatan harus jelas didefinisikan deskripsi kelompok yang terlihat dalam GPK yang diajukan.
2. Kesamaan Fakta dan Dasar Hukum
Syarat yang kedua yang digariskan dalam pasal 1 huruf a adalah kesamaan atau commonality.asas kesamaan menurut pasal tersebut adalah kesamaan fakta atau dasar hokum.
3. Kesamaan Jenis Tuntutan
Syarat ini berkaitan erat dengan syarat kesamaan fakta atau dasar hokum. Namun demikian, syarat kesamaan jenis tuntutan secara implicit disebut dalam pasal 1 huruf b yang berbunyi:
Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
G. FORMULASI GUGATAN
Mengenai formulasi GPK, merujuk kepada ketentuan pasal 3 dan pasal 10 PERMA. Menurut kalimat pertama pasal 3 dikatakan, persyaratan-persyaratan formal GPK:
• Tetap tunduk kepada ketentuan yang diatur dalam Hokum Acara Perdata, dalam hal ini HIR dan RBG
• Harus memiliki ketentuan yang diatur dalam pasal 3 PERMA. Penerapan yang seperti itusecara umum ditegaskan juga dalam pasal 10, yang berbunyi:
Ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdatatetap berlaku, disamping ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini.
Sehubungan degan itu, ada dua sisi formulasi guagatan yang perlu diperhatikan agar GPK yang diajukan tidak cacat formil.
1. Persyaratan Umum Berdasarkan Hokum Acara
Sebenarnya jika diperhatikan ketentuan pasal 3 PERMA, hamper terdapat persamaan syarat-syarat formulasi gugatan dengan yang diatur dalam HIR atau RBG.
2. Persyaratan Khusus Berdasarkan Pasal 3 PERMA
Seperti yang dikatakan, di antara syarat umum yang diatur dalam Hukum Acara, ada yang sama dengan ketentuan yang disebut pada pasal 3 PERMA. Namun demikian, persyaratan tersebut akan disebutka satu persatu, yaitu:
a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok
b. Definisi Kelompok secara Rinci dan Spesifik, walaupun Tanpa Menyebut Nama Anggota Kelompok Satu persatu
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi dikemukakan secara jelas dan rinci
e. Penegasan tentang beberapa bagian kelompok atau subkelompok
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi
H. PROSES PEMERIKSAAN AWAL
Mengenai proses pemerisaan GPK terdapat dua sistem. Pertama, tahap proses pemeriksaan awal yang tunduk kepada ketentuan pasal 5 PERMA. Kedua, tahap proses pemeriksaan biasa yang tunduk kepada hukum acara yang digariskan HIR/RBG, yang berkenaan dengan replik-duplik, pembuktian, konklusi, dan pengucapan putusan.
1. Pengertian an Tujuan Proses Pemeriksaan Awal
Bertitik tolak dari Pasal 5 ayat (1) istilah yang dipergunakan, awal proses pemeriksaan persidangan. Secara teknis yustisial, lebih tepat disebut tahap proses pemeriksaan awal atau lazim disebut preliminary certificate test, atau preliminary hearing.
2. Dapat Memberi Nasihat
Pasal 5 ayat (2) mengatur kewenangan hakim memberi nasehat kepada penggugat dan tergugat berkenaan dengan syarat-syarat yang diatur dalam pasal 3.
3. Menerbitkan Penetapan GPK Sah
Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (3) dan (4), hakim menerbitkan penetapan pengadilan, apabila telah selesai dilakukan pemeriksaan kriteria gugatan yang diajukan. Jika hakim berpendapat :
• GPK yang diajukan sah memenuhi syarat yang digariskan pasal 3 PERMA, Maka pengadilan menerbitkan penetapan yang berisi diktum atau amar.
1. Menyatakan sah gugatan GPK,
2. Memberi izin untuk berperkara melalui proses GPK, dan
3. Selanjutnya memerintahkan penggugat segera mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
4. Menjatuhkan Putusan GPK Tidak Sah
Hal ini telah diatur dalam pasal 5 ayat (5) PERMA yang menyatakan :
• Apabila dari hasil pemeriksaan kriteria gugatan, GPK tidak sah, karena tidak memenuhi syarat yang digariskan pasal 3, Maka pernyataan tidak sah itu, dituangkan dalam bentuk putusan, yang berisi diktum ;
1) Menyatakan GPK tidak sah,
2) Memerintahkan pemeriksaan dihentikan.
Sistem proses pemeriksaan awal yang digariskan pasal 5 tersebut, hampir sama dengan pasal 23Federal Rule Amerika Serikat yang disebut preliminary certificate test. Apabila hasil pemeriksaan kriteria CA yang diajukan penggugat memenuhi syarat, hakim menerbitkan Sertification order.
Syarat yang paling pokok untuk menerbitkan sertifikakat, hampir sama dengan ketentuan pasal 5 jo. Pasal 3 PERMA, yaitu :
a. There be a class (ada kelompok)
b. Commonality, that the action raises question of law or fact common to the class.
c. Class Representative :
• Fair (jujur),
• Adequate protection to the interest of the class (kesungguhan membela kepentingan kelompok).
5. Penetapan Sah GPK Bersifat Final
Menurut pasal 5 ayat (3) PERMA, pernyataan gugatan GPK sah dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan. Akan tetapi, pasal tersebut tidak menjelaskan, apakah penetapan itu bersifat final atau tidak, sehingga penyelesaian sengketa bisa terlambat. Tidak ada penegasan tentang itu, dapat menimbulkan perbedaan penafsiran, sehingga penyelesaian sengketa bias terlambat.
I. PENYELESAIAN MELALUI PERDAMAIAN
Penyelesaian Melalui Perdamaian diatur dalam pasal 6 PERMA yang berbunyi : hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Hakim wajib mendamaikan
Pasal ini berisikan perintah pada hakim, wajib mendamaikan para pihak. Namun dalam praktik kewajiban itu, bersifat performa saja. Kewajiban itu hanya tertulis saja, tetapi isinya dalam praktek sangat berbeda.
2. Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 10 PERMA, tata cara pemeriksaan perdamaian yang diatur dalam pasal 6 tunduk kepada pasal 130 HIR, dengan acuan sebagai berikut :
• Para pihak menyepakati sendiri materi perdamaian,
• Kesempatan (agreement) dibuat dan dirumuskan diluar persidangan tanpa campur tangan hakim.
• Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis, dan ditandatangani para pihak
• Selanjutnya para pihak meminta pada agar terhadap kesempatan itu, dijatuhkan putusan perdamaian, atas permintaan itu, hakim menjatuhkan putusan yang memuat diktum “menghukum para pihak memenuhi dan melaksakan isi perdamaian”.
Putusan perdamaian menurut pasal 130 HIR, dianggap sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap :
• Tertutup terhadapnya upaya banding dan kasasi,
• Langsung final dan mengikat (final and binding) kepada para pihak,
• Langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial (executorial kracht) sehingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat dijalankan eksekusi melalui PN.
3. Kelemahan pasal 6 PERMA
a. Tidak Mengatur Unfair settlement
b. Tidak Memberi Hak mengajukan keberatan
J. PEMBERITAHUAN KEPADA ANGGOTA KELOMPOK
Diatur dalam pasal 7 yang berisi ketentuan tentang tata cara, dan tahap serta isi pemberitahuan.
1. Cara Pemberitahuan
Diatur dalam pasal 7 ayat (1) berbunyi :
Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintahan seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.
Ketentuan pasal 1 huruf e dihubungkan dengan pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) PERMA, dijelaskan :
a. Pemeberitahuan dilakukan wakil kelompok
Pasal 8 ayat (1) harus memenuhi ketentuan :
1. Pemberitahuan dilakukan penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok,
2. Disampaikan kepada seluruh anggota kelompok,
3. Cara pemberitahuan yang harus ditaati menurut pasal 1 huruf e melalui berbagai cara yang mudah dijangkau anggota kelompok.
b. Cara Pemberitahuan
Diatur dalam pasal 7 ayat (1) dengan alternatif yang dianggap efektif dan efisien yaitu :
1. Melalui media cetak dan/atau elektronik,
2. Melalui kantor pemerintah, seperti :
• Kecamatan
• Kelurahan atau
• desa
3. secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan dengan syarat :
• sepanjang anggota kelompok dapat diidentifikasi, dan
• ada persetujuan hakim tentang itu.
2. Kewajiban pemeberitahuan
Menurut pasal 7 ayat (2) bersifat imperatif karena tercantum kata wajib, digantungkan pada tahap proses pemeriksaan perkara.
a. Pada tahap GPK dinyatakan sah
b. Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi
3. Isi pemberitahuan
Diatur dalam pasal 7 ayat (4) PERMA.
a. Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat.
b. Penjelasan singkat kasus perkara
c. Penjelasan tentang pendefinisian kelompok
d. Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok
e. Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok
f. Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan
g. Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar
h. Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang tersedia bagi penyediaan imformasi tambahan
i. Formulir isian tentang pernyataan keluar dari anggota kelompok sebagaimana diatur dalam lampiran PERMA
j. Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
a. Isi pemberitahuan bersifat enumeratif atau secara rinci
b. Pemberitahuan perlu memuat kemungkinan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi
Dengan demikian, sejak pemberitahuan GPK dinyatakan sah, anggota kelompok yang memperoleh imformasi yang jelas tentang itu, dapat menentukan sikap apakah dia memilih keluar (option out) atau tetap bertahan dengan segala resiko apapun.
K. PERNYATAAN KELUAR
Diatur dalam pasal 8 PERMA. Dikemukakan dalam pasal 1 huruf f mengenai pengertiannya yang berbunyi:
Pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditanda tangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat, oleh anggota kelompok.
Dari ketentuan itu dapat dikemukakan bebrapa hal penerapan pernyataan keluar dari kelompok :
1) Bentuknya tertulis (in writing), tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral),
2) Pernyataan ditandatangani oleh pembuat,
3) Pernyataan ditujukan kepada pengadilan dan/atau kepada pihak penggugat.
1. Cara Pemberitahuan Pernyataan Keluar
Sudah dijelaskan dalam pasal 7 ayat (4) huruf e, kemudian pasal 8 ayat (1) mengatur tata caranya :
a. Dilakukan dalam batas waktu yang disebut dalam pengumuman,
b. Apabila lewat dari waktu itu, pernyataan keluar tidak sah,
c. Pernyataan dituangkan dalam bentuk formulir yang dilampirkan dalam PERMA,
d. Dapat diisi dan ditandatangani sendiri oleh anggota kelompok atau kuasanya, dan
e. Supaya pernyataan keluar tidak salah sasaran, harus ditujukan kepada pengadilan dan/atau penggugat.
2. Akibat Hukum Pernyataan Keluar
Diatur dalam pasal 8 ayat (2) yang berbunyi :
Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok, secara hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok.
3. Res Juducata Gugatan perwakilan dengan Ne Bis In Idem
Diatur dalam pasal 1917 KUH Perdata. Menurut asas ini, suatu perkara yang telah putus, dan berkekuatan hukum tetap, tidak boleh dituntut dan diadili untuk kedua kali.
L. KEWENANGAN HAKIM DAN ANGGOTA KELOMPOK TERHADAP KUASA HUKUM DAN WAKIL KELOMPOK
1. Hakim harus memeriksa hubungan antara perwakilan dengan kuasa Hukum (Lawyer)
Pasal 2 huruf d, memberi kewenangan kepada hakim untuk menganjurkan kepada wakil kelompok mengganti pengacara, apabila merugikan dan bertentangan dengan kewajibannya membela dan melindungi kepentingan kelompok. Hak dan kewenangan hakim memeriksa hubungan kelompok dengan pengacara dengan ketentuan :
• Wakil kelompok harus berbeda dengan orang yang bertindak sebagai pengacara (tidak orang yang sama),
• Antara wakil kelompok dengan pengacara, tidak ada hubungan keluarga,
• Tidak ada hubungan keuangan,
• Pengacara bonafide, memilki kemampuan teknis serta profesionalitas dan motivasi yang tulus membela kepentingan kelompok.
2. Kewenangan kelompok dan hakim mengganti Perwakilan
Dalam al ini tidak diatur dalam PERMA, maka perlu diatur ketentuan yang memberi hak dan wewenang kepada anggota kelompok dan hakim untuk melakukan hal-hal seperti :
a. Wakil kelompok menghentikan (discontinue) gugatan
Sangat beralasan untuk mengganti wakil kelompok, apabila atas kehendak mereka sendiri menghentikan gugatan dan tindakan itu dilakukan :
• Tanpa campur tangan dari anggota kelompok lain, atau
• Tanpa persetujuan (approval) anggota kelompok atau pengadilan.
b. Menyetujui kompromi dengan tergugat tanpa persetujuan anggota kelompok atau pengadilan
Pasal 6 PERMA mewajibkan hakim mendorong para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui perdamaian berdasarkan pasal 130 HIR baik diluar, maupun dalam dituangkan dalam bentuk putusan pengadilan.
M. PENGACARA MENGHUBUNGI SALAH SESEORANG KORBAN
PERMA tidak mengatur tentang sejauh mana kebolehan pengacara menghubungi salah seorang anggota akelompok. Pada saat menghubungi, pengacara menyatakan kesediaannya member jasa mengajukan GPK.
N. PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS BIAYA
Mengenai hal ini, tidak diatur dalam PERMA. Pengaturan tetang hal ini dianggap penting, agar anggota kelompok terhindar dari pembebanan biaya yang tidak wajar maupun yang bersifat pemerasan dari wakil kelompok, sehubungan dengan itu, perlu digariskan pedoman yang berkenaan dengan hal itu.
1. Wakil kelompok yang bertanggung jawab atas biaya
2. Anggota kelompok tidak dapat dipaksa member kontribusi biaya.
O. TERGUGAT GPK (DEFENDANT CLASS ACTION)
hal lain yang tidak diatur dalam PERMA, mengenai tergugat gugatan kelompok (defendant of class action). Tidak dijelaskan siapa saja yang dapat ditarik sebagai tergugat. Kealpaan ini bias menimbulkan permasalahan dalam praktik. Sehubungan dengan itu, dapat dipedomani penerapan yang terdapat dalam perkembangan class action.
1. Yang Dapat Menjadi Tergugat
Pada dasarnya yang dapatditarik sebagai tergugat GPK merupakan kebalikan dari penggugat gugatan perwakilan kelompok (plaintiff class action). Tergugat GPK dapat terdiri dari:
a. Satu atau beberapa orang yang ditunjuk untuk mempertahankan dan membela kepentingan orang banyak, atau
b. Perwakilan tergugat yang bertindak membela kepentingan kelompok tergugat (defendant class)
2. Kategori Terguga Gugatan Kelompok
Berdasarkan teori dan praktik, tergugat gugatan perwakilan kelompok (devendent class action) dapat dibagi dua kategori, yaitu:
a. Gugatan terhadap un incorporated association, seperti persatuan dagang (trade union) atau perkumpulan (club)
b. Gugatan terhadap jumlah besar individu (a large member of individuals)yang tidak ada ikatan sebelumnya (who have no pre-existing relationship) yang dituntut telah melakukan beberapa kesalahan yang sama (common same wrong).
P. KEDUDUKAN PERWAKILAN KELOMPOK YANG DITOLAK ANGGOTA KELOMPOK
PERMA juga tidak mengatur kemungkinan terjadinya penolakan atau penyangkalan (repudiation), terhadap wakil kelompok sehingga hal ini merupakan kekosongan hokum di masa dating.
1. Sesuai pasal 4 PERMA, tidak disyaratkan kuasa khusus
Untuk mewakili kepentingan hokum anggota kelompok, wakil kelompok tidak disyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok.
2. Akibat Hokum Atas Penolakan Atau Penyangkalan Anggota Kelompok
Tanpa mengurangi ketulusan dan pengorbanan wakil kelompok mengajukan gugatan untuk kepentingan seluruh anggota kelompok. Dapat juga terjadi kemungkinan tindakan atau gugatan bertentangan dengan kehendak dari sebagian besar anggota kelompok.
Q. PENGUASA DAPAT DITARIK SEBAGAI TERGUGAT GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK
Apabila penguasa atau pemerintah bertindak melanggar hokum (breachof law) atau sengaja maupun lalai melaksanakan kewajiban hokum dengan hati-hati (duty care), dan ternyata tindakan pelanggaran atau kekuranghati-hatian tersebut menimbulkan bencana atau kesengsaraan maupun terjadinya perampasan atau pelanggaran hak-hak politik dan budaya kelompok tertentu yang besar jumlahnya, cukup beralasan untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok kepada penguasa atau pemerintah yang bersangkutan.
R. DUPLIKASI PENGAJUAN GPK
Apabila suatu kasus menimbulkan akibat yang sangat luas menimpa kelompok yang besar jumlahnya dan anggota kelompoknya tersebar di berbagai daerah dan kota, dapat terjadi pengajuan GPK secara local dan serentak di beberapa Pengadilan Negeri (PN).
S. PUTUSAN PENGADILAN
Putusan yang dapat dijatuhkan pengadilan dalam mengadili perkara sangat bervariasi:
• Bias menolak seluruh gugatan,
• Dapat juga mengabulkan gugatan sebagian atau seluruhnya, atau
• Dapat juga menyatakan gugatan tidak dapat diterima
T. PENDISTRIBUSIAN GANTI RUGI
Akhir proses GPK adalah tahap pendistribusian ganti rugi kepada anggota kelompok, apabila pengadilan mengabulkan gugatan. Langkah dan tindakan yang perlu diambil wakil kelompok memenuhi kewajiban itu adalah sebagai berikut:
1. Pendistribusian Diawali Dengan Pemberitahuan
Wakil kelompok menyampaikan pemberitahuan atas pengabulan tuntutan ganti rugi kepada seluruh anggota kelompok dengan cara mekanisme yang dituntutkan dalam putusan melalui media atau perangkat yang ditentukan dalam pasal 7 ayat (1) PERMA.
Dalam putusan, pengadilan dapat mengabulkan cara pendistribusian dilakukan oleh tim yang terdiri dari penggugat, tergugat, dan PN. Jika demikian halnya, pemberitahuan menjelaskan hal itu kepada anggota kelompok.
2. Distriusi Dapat Diberikan dengan Beberapa Cara
a. Diberikan langsung kepada masing-masing anggota kelompok dengan syarat yang bersangkutan membuktikan dirinya sebagai anggota kelompok yang ikut mengalami kerugian,
b. Dapat juga melalui subkelompok (jika ada) tanpa mengurangi keharusan membuktikan sebagai korban dari peristiwa yang diperkarakan.
3. Anggota yang Tidak Mau Menerima Ganti Rugi
Anggota yang telah opt out pada tenggang waktu yang ditentukan, tidak berhak mendapat ganti rugi. Tidak menjadi soal apakah opt out itu dilakukan pada tahap pemberitahuan sahnya GPK atau pada tahap pemberitahuan putusan.
4. Pembagian Sisa Ganti Rugi Berdasarkan Cy Press Doctrine
Meskipun kecil sekali kemungkinan terdapat sisa pembagian ganti rugi, namun hal itu perlu disinggung. Nyatanya hal itu tidak diatur dalam PERMA, sehingga apabila dalam kenyataan terjadi peristiwa yang demikian, belum ada pedoman dalam penyelesaiannya.
Ada baiknya sebagai bahan orientasi dikemukakan ketentuan yang diatur di Amerika Serikat yang menggariskan:
Jika terdapat sisa ganti rugi setelah dibagikan kepada seluruh anggota kelompok, sisia tersebut diberikan kepada yayasan social atau badan lain yang sejalan degan tujuan GPK yang diajukan.
Cara pemanfaatan sisa ganti rugi yang demikian didasarkan pada cy press doctrine yang bermakna, persetujuan antara penghibah dengan penerima hibah, bahwa hartanya akan dipergunakan sebagai dana untuk maksud-maksud kepentingan social.

Wednesday, 23 September 2015
Hukum Perdata tentang Hukum Waris
MAKALAH
Hukum
perdata
Tentang
HUKUM WARIS
JURUSAN
AHWAL AL-SYAKHSYIYAH (AS)
OLEH
LATIPAH
: 152 102 044
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
MATARAM
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai
seorang makhluk tuhan yaitu sebagia insan yang bernyawa, maka kita tidak lepas
yang namanya suatu kematian, karena setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Apabila
kita berbicara masalah kematian maka pada saat itu ada kerabat atau keluarga
yang ditinggalkan. Di dalam keluarga
jika salah seorang yang meninggal dunia dan mempunyai harta yang ditinggalkan,
maka harta yang ditinggalkan itu agar bisa bermamfaat untuk keluarganya maka
harta tersebut harus dibagikan kepada
keluarganya yang masih hidup yang disebut dengan warisan.
Dalam
pembagian harta warisan akan diatur bagaimana warisan itu dibagikan, kepada
siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana besar warisan yang
bisa di peroleh, dan lain-lain.
Dalam
pembahasan hukum waris ini, disini penulis akan lebih fokus membahasan materi
hukum waris KUH Perdata, tapi disamping penulis membahas waris menurut KUH
Perdata juga akan dibahas secara ringkas hukum waris adat dan hukum waris
islam. Karena hal ini sangat penting untuk membandingkan dan di analisis guna
mengetahui ke arah mana pembinaan hukum waris nasional tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Dalam
bab waris ini penulis dapat memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
perbandingan waris menurut KUH Perdata, hukum adat dan hukum waris islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris
Di dalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian
hukum waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsep-konsep tentang pewarisan,
orang-orang yang berhak dan tidak berhak menerima waris, dan lain-lain. Namun,
di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu di dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991
berbunyi: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.[1]
Hukum
waris dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Hukum
waris tertulis
Hukum waris tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan UU dan
Yurisprudensi.
2. Hukum
waris adat
Hukum waris adat adalah
hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat adat.
B. Sistem
Hukum Waris Islam dan BW
1.
Sistem hukum waris islam
Hazarin dalam bukunya Hukum
Kewarisan Bilateral Menurut Al-quran mengemukakan bahwa “Sistem kewarisan
islam adalah sistem individual bilateral.[2]
Dikatakan demikian atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam al-quran diantranya
seperti yang tercantum dalam masing-masing surat An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 33,
dan 176.
Hazarin juga
mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri sistem hukum waris islam
menurut al-quran, yaitu:
-
Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan
orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum
waris di luar al-quran hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin
sebagai ahil waris jika pewaris meninggal dunia tampa keturunan.
-
Jika meninggal dunia tampa keturunan
maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai
ahli waris dengan orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya.
-
Suami-istri saling mewarisi; artinya,
pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris pihak lainnya.
2. Sistem
Hukum Waris BW
Sistem waris BW tidak
mengenal istilah “Harta asal maupun harta gono gini” atau harta yang diperoleh
bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga
merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih
dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisannya. Seperti yang
ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu: “Undang-undang tidak memandang akan sifat
atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan
terhadapnya”. Sedangkan dalam sistem hukum waris adat membedakan “macam” dan
“asal” barang yang ditingglkan pewaris.
C. Azaz Hukum Waris Mengenai Pewaris
dan Diri Ahli Waris.
Terdapat
lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta warisan,
cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang
diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu:[3]
cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang
diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu:[3]
1. Asas ijbari (paksaan)
Dalam hukum waris Islam mengandung
arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung
kepada kehendak dari pewaris atau
permintaan dari ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan hukum BW di mana pewaris
dapat menunjuk ahli waris melalui wasiat.
2. Asas Bilateral
Asas ini mengandung arti bahwa harta
warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Setiap orang menerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu seorang lakilaki berhak mendapatkan
warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, dan begitu juga
sebaliknya.
3. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas
kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi
untuk dimiliki secara perorangan. Masing masing ahli waris menerima bagiannya
secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian
jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar
bagian masing-masing.
4. Asas keadilan berimbang
Keadilan berimbang dalam hukum waris Islam adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara yang diperoleh
dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan
gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan hak yang sama
kuat untuk mendapatkan warisan, walaupun dari segi jumlah yang diperoleh memang
tidak sama. Meskipun demikian, hal tersebut bukan berarti tidak adil. Karena
keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya
diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap istri (keluarganya).
diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap istri (keluarganya).
5. Asas semata akibat kematian
Hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu
kewarisan akibat kematian semata. Harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Segala
bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun
terlaksana setelah dia mati tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut
hukum Islam.
D. Penggolongan Ahli Waris Dan Tentang
Ketidakpatuhan
Ada
dua macam ahli waris yang diatur dalam UU, yaitu:
1. Ahli
waris berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah (Ab Intestato)
Ahli
waris Ab Intestato diatur dalam pasal 832 KUH Perdata yang berbunyi “Yang
berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut UU
maupun yang diluar pernikahan, dan suami istri yang hidup terlama.[4]
Yang dimaksud dengan
keluarga sedarah dan istri (suami) digolongkan menjadi empat golongan sebagai
berikut:[5]
-
Anak, atau keturunannya dan istri
(suami) yang hidup. (pasal 852 KUH perdata)
-
Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara
pewaris (pasal 854 KUH Perdata)
-
Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya
dalam garis lurus keatas (pasal 853 KUH Perdata)
-
Sanak keluarga dalam garis kesamping
sampai tingkat ke enam. (pasal 861 ayat 1 KUH Perdata).
a) Ahli
waris golongan pertama (Pasal 852 KUH Perdata)
Menurut
ketentuan pasal 852 KUH Perdata, anak-anak walaupun dilahirkan dari perkawinan
yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki-laki atau perempuan mendapatkan
bagian yang sama, mewarisi orang demi orang.
Berhubungan
dengan anak adopsi, menurut Ali Afandi, menyatakan bahwa anak adopsi ini
kedudukannya di dalam hukum sama seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang
yang mengadopsinya. Hal ini terdapat dikalangan orang Indonesia keturunan cina.[6]
b) Ahli
waris golongan kedua (Pasal 854 KUH Perdata)
Menurut
ketentuan pasal 854 KUH Perdata, apabila seseorang meninggal dunia tampa
meninggalkan keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah dan ibunya masih
hidup, yang berhak mewarisi adalah ayah, ibu, dan saudaranya, yaitu:
·
Ayah dan ibu masing-masing mendapat
sepertiga dari harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang
saudara, yang mendapat sepertiga lebihnya.
·
Ayah dan ibu masing-masing mendapat
seperempat dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari
seorang saudara, yang mendapat dua perempat lebihnya.
Selanjutnya, dalam pasal 855 KUH Perdata
ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu tampa meninggalkan
keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah atau ibunya masih hidup, maka:
·
Ayah atau ibu mendapat seperdua dari
harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang
mendapat seperdua lebihnya.
·
Ayah atau ibu mendapat sepertiga dari
harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara, yang
mendapat dua pertiga lebihnya.
·
Ayah atau ibu mendapat seperempat dari
harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara,
yang mendapat tiga perempat lebihnya.
Jika ayah dan ibu telah meninggal dunia
, seluruh harta warisan menjadi bagian saudara-saudara (Pasal 856 KHU Perdata).
c) Ahli
waris golongan ketiga (Pasal 853 KUH Perdata)
Menurut
pasal 853 dan 858 KUH Perdata, apabila orang yang meninggal dunia itu tidak
meninggalkan, baik keturunan istri atau suami, saudara-saudara, maupun orang
tua, harta warisan jatuh pada kakek dan nenek.[7]
d) Ahli
waris golongan keempat
Keluarga
sedarah dalam garis menyamping lebih dari derajat keenam tidak mewaris. Jika
dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang membolehkan
untuk mewaris, semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh
harta warisan. (Pasal 861 KUH Perdata).
2. Ahli
waris berdasarkan surat wasiat (Testamentair)
Sehubungan
dengan pewaris, yang penting dipersoalkan adalah perbuatan pewaris pada masa
hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila ia meninggal dunia, apakah sebelum
ia meninggal dunia apa ada wasiat yang ditinggalkannya kepada seseorang
mengenai harta kekayaannya yang disebut surat wasiat (testament).
Surat
wasiat (testament) adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang
apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan olehnya dapat ditarik kembali
(Pasal 875).[8]
Menurut
UU, apabila pewaris mempunyai wasiat atau meninggalkan wasiat, maka wasiat itu
harus ditulis yang berisi pernyataan apa yang dikehendaki pewaris setelah
meninggal dunia sebagaimana dalam hadis dinyatakan bahwa: “Hak setiap orang
muslim apabila memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, maka wasiatnya harus ditulis
dan disimpan sebelum lewat dua malam”. Dan masalah ini dijelaskan dalam Pasal
875 KUH Perdata yang menyatakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah sebuah
akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi
setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.
Berdasarkan
ketentuan pasal 875 KUH Perdata surat wasiat dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu:
a. Surat
wasiat menurut bentuknya
Menurut
ketentuan pasal 931 KUH Perdata, ada tiga macam surat wasiat menurut bentuknya,
yaitu:
ü Surat
wasiat olografis atau ditulis tangan sendiri.
Surat
wasiat olografis adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani
sendiri oleh pewaris. Surat wasiat alografis harus disimpan pada seorang
notaries. Penyimpanan tersebut harus dilakukan dengan akta penyimpanan, yang
dibuat oleh notaries yang menyimpan surat wasiat, kemudian ditandatangani oleh
notaries yang menyimpan surat wasiat tersebut, pewaris, dan dua orang saksi
yang menghadiri peristiwa tersebut (Pasal 932 KUH Perdata)[9]
ü Surat
wasiat umum.
Surat
wasiat umum adalah surat wasiat dengan akta umum yang harus dibuat di hadapan
Notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
ü Surat
wasiat rahasia atau tertutup.
Surat
wasiat rahasia atau tertutup adalah surat wasiat yang dibuat oleh pewaris
dengan tulisan sendiri atau ditulis dengan orang lain, yang ditandatangani oleh
pewaris.
b. Surat
wasiat menurut isinya
Menurut
isinya ada dua macam surat wasiat, yaitu:
ü Surat
wasiat pengangkatan waris (erfsteling)
Menurut
ketentuan Pasal 954 KUH Perdata, wasiat pengangkatan ahli waris adalah suatu
wasiat, dimana pewaris memberikan kepada satu orang atau lebih harta benda yang
ditinggalkannya pada waktu dia meninggal dunia, seluruh maupun sebagian,
seperti seperdua atau sepertiga.[10]
ü Surat
wasiat hibah (legat)
Menurut
ketentuan pasal 957 KUH Perdata, hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, di
mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu,
atau semua barang-barang dari macam tertentu; misalnya, semua barang-barang
bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau
semua barangnya.[11]
Di dalam BW
Sistem pembatasan dalam hal Ab Intestaat (hibah wasiat) tentang besar kecilnya
harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris diatur dalam Pasal 913-929
BW
Adapun tentang ketidakpatuhan, menurut ketentuan
pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris adalah
1. Mereka
yang telah dihukum karena dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh
pewaris
2. Mereka
yang dengan keputusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan
pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. Mereka
yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat surat
wasiatnya
4. Mereka
yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris
Berbeda
dengan KUH Perdata adalah hukum waris adat menurut uraian Prof. Hilman
Hadikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila
dosanya itu diampuni, ia tetap bisa menerima warisan.[12]
Sedangkan
menurut hukum waris islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. Pembunuh
pewaris
2. Orang
yang murtad
3. Orang
yang berbeda agama dengan pewaris
4. Anak
zina
E. Pewarisan Dalam Hal Adanya Anak
Diluar Kawin
Status
kelahiran anak di luar pernikahan dapat dilihat melalui:
1.
Pandangan
Hukum Adat
Bila
dipandang dari segi hukum adat, jika seorang
wanita yang melahirkan anak diluar pernikahan, maka hanya mempunyai
hubungan dengan ibunya.[13]
Akan tetepi apabila pada waktu melahirkan anak, si ibu telah mempunyai suami,
maka anak itu adalah anak sah, bukan anak yang lahir diluar pernikahan. Maka
dalam hal ini apabila seorang wanita melahirkan anak diluar pernikahan, maka
seorang anak itu hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya dan keluarga dari
ibunya, sebaliknya apabila anak itu yang meninggal, maka harta peninggalannya
hanya diwarisi oleh ibunya dan keluarga ibunya.[14]
2.
Pandangan
Hukum Islam
Menurut
hukum islam anak yang lahir diluar pernikahan ditetapkan adanya tenggang waktu
yaitu tenggang waktu nikah si isteri dengan kelahiran si anak dan tenggang yang
selama-lamanya harus ada antara putusnya perkawinan dengan lahirnya si anak.
3.
Pandangan
Hukum BW
Dalam
BW yang mengatur hubungan hukum tentang kewarisan antara si ibu dan si anak
diluar pernikahan, yaitu tercantum pada pasal-pasal 862/873 BW.
Oleh BW ada kemungkinan
seorang anak tidak hanya tidak mempunyai bapak, melainkan juga tidak mempunyai
seorang ibu dalam pengertian, antara anak dengan seorang wanita yang
melahirkannya itu, tidak ada perhubungan hukum sama sekali tentang pemberian
nafkah, warisan dan lain-lain. Antara anak dan si ibu baru mempunyai perhubungan hukum, apabila si ibu mengakui
anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem
tertentu, yaitu menurut pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak atau dalam
akte pernikahan bapak dan ibu di depan Pegawai Catatan Sipil (ambtenaar bijdi
Burgerlijk stand), atau dengan akte otentik tersendiri ( akte notaries) atau
jadi ½ dan tidak ¼ dari bagian anak sah.
Di dalam Burgerlijk
Wetboek ada tiga jenis anak:
-
Anak sah
-
Anak diluar pernikahan yang diakui
sebagai anak
-
Anak diluar pernikahan yang tidak diakui
Besarnya bagian warisan yang diperoleh
anak luar kawin adalah tergantung dari dengan bersama-sama siapa anak luar
kawin itu mewaris (dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu
mewaris).[15]
Adapun
besar warisan yang diperoleh dari anak yang diluar kawin adalah sebagai
berikut:
1. Anak
luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan I, bagiannya: 1/3 dari bagiannya
seandainya dia anak sah.
contoh:
A meninggal, meninggalkan istrinya B dan dua anak
kandung C dan D serta seorang anak luar kawin yang diakui sebelum
perkawinanya dengan B, yaitu E, maka pembagian warisannya:
|
BB
|
A
|
E
|
D
|
C
|
E mendapat 1/3
seandainya ia anak sah.
Seandainya E anak sah,
maka bagiannya adalah ¼. maka bagian E = 1/3 x ¼ = 1/12
2. Anak
luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan II dan III, bagiannya : ½ dari seluruh warisan.
3. Anak
luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan IV, bagiannya: ¾ dari seluruh
warisan
F. Legitieme Portie (Bagian Mutlak) Dalam
Waris
Legitieme Portie atau bagian waris menurut UU ialah suatu
bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis
lurus menurut UU, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh
mendapatkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup,
maupun sebagai wasiat (Pasal 913) KUH Perdata.[16]
Maksud dari garis lurus itu adalah garis lurus ke
bawah atau garis lurus ke atas, artinya jika tidak ada ahli waris lurus ke
bawah, maka garis lurus ke atas berhak atas legitieme portie. yang berhak atas
legitieme portie disebut legitimaris.[17]
Dalam
pemabahasan legitieme portie ditempatkan dalam pokok bahasan mengenai harta
warisan, sebab legitieme portie itu hanya akan ada artinya apabila pewaris
meninggalkan harta warisan dan wasiat.
Besarnya legitieme portie ahli waris dalam garis
lurus ke bawah diatur dalam pasal 914 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut
ditetapkan besarnya legitieme portie sebagai berikut:
1. Apabila
hanya ada satu orang anak sah, legitieme portie adalah seperdua dari harta
warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat.
2. Apabila
ada dua orang anak sah, legitieme portie untuk masing-masing anak adalah 2/3
dari harta warisan yang diperolehnya tampa ada surat wasiat.
3. Apabila
ada tiga orang anak sah atau lebih, legitieme portie untuk masing-masing anak
adalah ¾ dari harta warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat.
Menghitung besar legitieme portie harus
memperhatikan ketentuan pasal 916a KUH Perdata. Dalam hal ada ahli waris mutlak
dan ahli waris tak mutlak maka penghibahan harus tidak melanggar legitieme
portie yang ditentukan. Penentuan legitieme portie itu tampa memperhitungkan
adanya ahli warisa tak mutlak. Apabila penghibbahan itu melebihi jumlah
legitieme portie yang ditentukan tampa memperhitungkan ahil waris tak mutlak,
maka kelebihannya dituntut kembali oleh ahli waris mutlak. Maksudnya ketentuan
pasal 916a ini ialah supaya ahli waris tak mutlak mendapat perlindungan dari
ahli waris mutlak, sehingga bagian warisannya tidak dirugikan oleh penghibahan
yang dilakukan oleh pewaris.[18]
Contoh cara menghitung besarnya legitieme portie
dalam hal ada wasiat terhadap harta warisan. Pewaris meninggalkan seorang anak
dan seorang istri. Anak adalah ahli waris mutlak, istri adalah ahli waris tak
mutlak. Bagian anak dan ibu sama, bagian anak ½ warisan (pasal 852a ayat 1 KUH
Perdata). Legitieme portie anak tersebut adalah seperdua kali seperdua warisan
sama dengan seperempat warisan (pasal 914 KUH Perdata). Dengan demikian warisan
yang dapat dihibahkan adalah semua warisan dikurangi seperempat warisan sama
dengan tiga perempat warisan.
Dengan perhitungan ini jelas bahwa istri tidak
memperoleh bagian apa-apa, sebab harta warisan setelah dikurangi dengan
legitieme portie anak (seperempat warisan) dapat dihibahkan semua (tiga
perempat warisan). Dengan adanya ketentuan pasal 916a KUH Perdata keadaan
menjadi lain. Berdasarkan pasal ini, istri karena bukan ahli waris mutlak tidak
dihitung dulu sebagai ahli waris. Yang dihitung hanya anak sebagai ahli waris
mutlak. Dengan mengesampingkan istri tadi maka anak memperoleh seluruh warisan
(pasal 852 KUH Perdata).
Dengan demikian, legitieme portie anak adalah
seperdua dari seluruh warisan (pasal 914 KUH Perdata). Yang dapat dihibahkan
adalah seperdua harta warisan, sisanya ialah tiga perempat warisan. Karena yang
dapat dihibahkan sekarang hanya seperdua warisan, maka masih terdapat seperdua
warisan untuk para ahli waris, baik mutlak maupun tak mutlak. Seperdua warisan
dibagi antara anak dan istri. Menurut pasal 852a KUH Perdata bagian istri sama
dengan bagian anak. Dengan demikian istri mendapat seperempat warisan anak
mendapat seperempat warisan. Jelaslah bahwa pasal 916a KUH Perdata memberi
perlindungan terhadap ahli waris tak mutlak sehingga ia tidak dirugikan oleh
penghibahan yang dilakukan oleh pewaris.
Untuk menentukan besarnya legitieme portie dalam
suatu kewarisan, maka akan diikuti ketentuan pasal 921 KUH Perdata. Menurut
ketentuan pasal tersebut:
1. Harta
peninggalan pada waktu pewaris meninggal dunia ditetapkan jumlahnya, bedasarkan
harga pada waktu pewaris meniggal.
2. Jumlah
itu harus ditambah dengan jumlah harga barang yang dihibahkan pada waktu
pewaris masih hidup. Barang itu harus dinilai menurut keadaan waktu diadakan
penghibahan dengan harga pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Jumlah
yang terdapat tersebut dikurangi dengan segala hutang pewaris.
4. Sisa
pengurangan ini dijadikan dasar untuk menghitung legitieme portie para ahli
waris mutlak.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan warisan ialah harta
yang ditinggalkan oleh pewaris untuk diwarisi setelah pewaris meninggal dunia.
Di negara indonesia berlaku tiga hukum adat diantaranya:
1. Hukum
waris islam
2. Hukum
waris adat
3. Hukum
waris BW
Ketiga hukum waris
menganut sistem kekeluargaan yang dimana
mempunyai segi-segi perbedaan yang amat mencolok yang dapat paparkan sebagai berikut:
1. Sistem
patrilineal/sifat kebapan
2. Sistem
matrilineeal/ sifat keibuan
3. Sistem
bilateral/Sifat kebapak-ibuan
Dari
uraian diatas semakin jelas bahwa sistem keturunan yang berlaku dimasyarakat
khususnya masyarakat indonesia bahwa sistem hukum kewarisan bersifat
pluralistik sehingga apabila ingin melakukan pembaharuan guna untuk unifikasi
hukum maka akan sulit, karena mempunyai aneka ragam hukum waris yang berlaku.
DAFTAR RUJUKAN
Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: Renika Cipta.
1997.
Muhammad,
Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 2000.
Oemarsalim.
Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta:
Renika Cipta. 1991.
Perangin,
Effendi. Hukum Waris. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 2010.
Salim
HS. Pengantar Hukum Perdata
Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika. 2006.
Soimin,
Soedharyo. Kitab Undang-Undang HUkum
Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Suparman, Eman. Hukum Waris
Indonesia:Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. Bandung: Refika Aditama.
2005.
[1]
Dikutip dari Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika), h, 137.
[2]
Dikutip dari, Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam perspektif islam,
adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama), h, 15.
[4]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata…, h, 216.
[5]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), h, 284
[6]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia..., h, 285.
[7]
Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perdata Indonesia…, h. 216.
[8]
Dikutip dari Ali Afandi, HUkum Waris,
HUkum KEluarga, HUkum Pembuktian, (Jakarta: Renika CIpta), h, 14.
[9]
Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), h, 203
[10]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata…, h. 243.
[11]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata.., h. 244
[12]
Dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Perdata Indonesia…, h, 289.
[13]
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di
Indonesia (Jakarta: Renika Cipta), h, 65.
[14]
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di
Indonesia…, h, 66.
[15]
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada), h, 65
[16]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
HUkum Perdata (Jakarta: Sinar Grafika), h, 233.
[17]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia…, h, 294.
[18]Ali
Afandi, 1963:43, dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia…, h, 295.
Subscribe to:
Posts (Atom)